Mohon tunggu...
Misbahul Ulum
Misbahul Ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Amatir

Juru ketik, anak petani tulen, mantan karyawan negara.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mencari Makanan Halal Ibarat Mencari Pasangan

7 November 2017   22:37 Diperbarui: 7 November 2017   22:49 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2012 lalu, Kampus tempat saya menuntut ilmu (IAIN Walisongo Semarang) mengadakan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di pulau Dewata Bali. Segala kebutuhan kami, khususnya menyangkut konsumsi dan akomodasi selama KKL sepenuhnya diatur oleh pihak travel agen yang memang sudah terbiasa membawa rombongan ke Bali.

Saat rombongan kami memasuki wilayah Bali, pihak travel agen memberikan informasi bahwa di Bali tidak banyak restoran yang menyediakan menu "halal". Hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa karena memang mayoritas penduduk Bali bukan beragama Islam. Sehingga, persoalan menu halal tidak begitu diperhatikan.

Namun, walaupun begitu, bukan berarti di Bali tidak ada menu makanan halal. Bedanya, restoran dan warung makan yang menyediakan menu makanan halal, umunya memberikan tanda khusus yang menegaskan perihal kehalalan makanan yang dijual. Biasanya restoran dan warung makan tersebut memasang tulisan "halal" atau "restoran muslim".

Ketika saya hidup di lingkungan yang semuanya beragama Islam, saya hampir tidak pernah peduli dengan persoalan halal. Karena memang saya belum pernah merasakan betapa susahnya mencari makanan halal. Ibarat orang yang belum pernah sakit, ia akan lupa bagaimana nikmatnya sehat dan betapa tidak enaknya sakit.

Bali memberikan pelajaran kepada saya bahwa untuk menemukan makanan halal, butuh kemauan dan perjuangan. Bagi masyarakat yang terbiasa hidup di dalam homogenitas agama (Islam) mungkin tidak dapat merasakan perjuangan menemukan makanan halal. Tetapi bagi masyarakat yang hidup berdampingan di tengah mayoritas agama tertentu (seperti Bali dan negara-negara barat), tentu akan bisa merasakan betapa menemukan makanan halal adalah sebuah perjuangan tersendiri.

Ketika di Bali, saya mulai merasakan sulitnya menemukan restoran halal. Kesulitan tersebut bukan karena tidak ada restoran dan warung makan yang menyediakan menu halal, melainkan karena kekhawatiran saya mengenai kualitas kehalalan makanan di sana. Sebab, dalam paradigma saya, kehalalan sebuah makanan tidak hanya diukur dari jenis makanan itu semata, melainkan juga dari alat dan cara yang digunakan dalam mengolah. Bisa saja jenis makanan yang kita inginkan benar-benar halal, seperti ikan laut dan ayam. Akan tetapi menjadi berkurang nilai kehalalannya ketika di jual dalam satu tempat bersama dengan jenis makanan haram seperti babi dan anjing.

Karena kekhawatiran saya yang mungkin terlalu berlebihan, akhirnya selama di Bali saya tidak berani makan (makan besar) selain dari yang disediakan oleh pihak travel. Selebihnya, kalaupun tiba-tiba lapar, saya akan membeli makanan yang jelas kehalalannya seperti Jagung bakar dan makanan kemasan di Mini Market.

Harapan saya, ke depan Pemerintah bisa lebih peduli dengan persoalan halal fooddan juga halal life style. Khususnya di tempat-tempat yang menjadi tujuan hampir semua orang, baik untuk berbisnis, belajar, maupun berwisata, seperti Bali. Dengan begitu, masyarakat yang bergama Islam tidak perlu khawatir lagi dengan sulitnya mencari makanan halal.

Menemukan dan mencari makanan halal ibarat mencari pasangan, harus jelas asal usulnya, kualitasnya, dan masa depannya. Demikian halnya dengan makanan, harus jelas jenisnya, kualitasnya, dan kemanfaatan bagi kita apabila. Sebab, dalam paradigma beberapa orang, khususnya yang pernah "nyantri" (seperti saya), memakan makanan yang haram dapat menggelapkan mata hati, serta dapat menghalangi hidayah yang seharusnya datang kepada kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun