Siapa yang tak kenal olahraga padel yang mendadak digandrungi kaum urban? Bahkan secangkir matcha seharga puluhan ribu rupiah kini dianggap sebagai bagian dari gaya hidup kekinian.Â
Banyak dari kita yang mungkin tidak benar-benar menyukai hal-hal itu, tapi tetap mengikutinya. Mengapa? Karena kita takut ketinggalan.Â
Takut tak dianggap bagian dari lingkaran sosial. Takut disebut tidak gaul, tidak update, atau tidak relevan.Â
Itulah FOMO—Fear of Missing Out—sebuah fenomena psikologis yang makin mengakar di tengah masyarakat modern yang hiperterhubung.
FOMO bukan sekadar perasaan iri saat melihat teman jalan-jalan ke luar negeri atau nongkrong di tempat hits.Â
Lebih dari itu, ia merembes perlahan dalam kehidupan kita, membuat kita merasa kurang hanya karena tidak ikut dalam tren tertentu.Â
Apalagi ketika setiap hari kita disuguhkan postingan di media sosial: teman yang baru beli sneakers edisi terbatas, selebgram yang baru saja mencoba kelas pilates eksklusif, atau influencer yang memamerkan kopi matcha mahal sambil duduk di kafe estetik.
Namun, di tengah arus informasi yang tak pernah padam ini, kita perlu bertanya: apakah semua itu benar-benar perlu? Apakah kita mengikuti tren karena suka, atau hanya karena takut ketinggalan?Â
Jika kamu mulai merasa lelah mengejar sesuatu yang bahkan tidak kamu pahami sepenuhnya, mungkin inilah waktunya untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi: apakah kita hidup atas pilihan sendiri, atau sekadar mengikuti orang lain?
Media Sosial: Lahan Subur yang Menyuburkan FOMO
Tak bisa dipungkiri, media sosial adalah panggung utama bagi FOMO. Di sana, semua orang tampak bahagia, sukses, dan selalu tahu hal paling baru.Â