Pasar tradisional yang dulu menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat kini mulai kehilangan denyutnya.Â
Banyak pedagang yang sudah bertahun-tahun menempati lapak, membangun relasi dengan pelanggan, dan menjaga kualitas dagangannya, kini harus menahan sepi.Â
Ironisnya, di saat yang sama, pelaku usaha yang berpindah ke platform digital malah kebanjiran pesanan.Â
Fenomena ini bukan semata soal nasib atau rezeki, tapi lebih dalam: ini soal akses dan adaptasi terhadap teknologi.
Pedagang pasar tradisional, meskipun termasuk pelaku UMKM, sering kali terhambat oleh pola kerja lama.Â
Mereka tidak punya sistem bisnis yang bisa dikembangkan, tidak memahami bagaimana memanfaatkan teknologi untuk menjangkau pasar yang lebih luas, dan sebagian bahkan belum memiliki perangkat yang memadai.Â
Di sisi lain, pelaku usaha yang berjualan secara online mampu melewati batasan waktu dan tempat.Â
Mereka bisa berjualan 24 jam, menjangkau konsumen dari berbagai kota bahkan negara, dan menjalankan operasional dengan lebih fleksibel.Â
Inilah yang akhirnya menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara dua kelompok pelaku usaha kecil yang sebenarnya punya tujuan sama: mencari nafkah.
UMKM yang Terbelah: Dua Dunia dalam Satu Label
Hari ini, pelaku UMKM bisa dikelompokkan ke dalam dua kubu: mereka yang masih bertahan di pasar tradisional dan mereka yang telah bermigrasi ke e-commerce.Â
Meski sama-sama masuk kategori usaha kecil dan menengah, nasib mereka kini berbeda jauh.Â