Kepanikan Sebelum Berangkat
Dua minggu sebelum Lebaran, Mei sudah mulai panik. Padahal, rumah orang tuaku cuma dua jam dari sini.Â
Tapi dia sibuk mondar-mandir, nyatet barang-barang yang harus dibawa seakan-akan kita bakal mudik ke bulan.
"Sayang, koper kita cukup nggak buat bawa semua ini?" tanya Mei sambil menunjukkan daftar panjang yang lebih mirip daftar belanja supermarket sebelum kiamat.
Aku melongok ke daftar itu. Baju ganti, sandal, power bank, tisu basah, obat-obatan, camilan, charger, parfum, skincare, jaket, dan... alat jahit?
"Kita mudik, bukan pindah rumah," kataku.
"Iya, tapi aku baca di berita, mudik itu bisa berjam-jam, macetnya panjang banget. Nggak mau kan kalau aku mati gaya di jalan?"
Aku menatap Mei dengan penuh kasih sayang. "Mei, perjalanan ke rumah orang tuaku itu paling lama dua jam. Itu pun kalau kita berhenti di warung buat beli gorengan."
"Iya, tapi siapa tahu ada kejadian luar biasa? Misalnya, alien datang menyerang atau banjir bandang mendadak?"
Aku tepok jidat. Mei terlalu siap untuk ketidaksiapan yang nggak mungkin terjadi.
Perdebatan Soal Angpau
Masalah kedua muncul saat aku mengajak Mei menukar uang untuk angpau. Sebagai keturunan Tionghoa, soal bagi-bagi angpau sudah biasa buatnya. Tapi kali ini, dia melakukan riset yang agak berlebihan.