Tidak sengaja saat-jalan-jalan di Jakarta saya bertemu dengan seseorang yang saat ini sebagai "Anak Buah" menteri pendidikan, memang di Indonesia sudah bukan menjadi rahasia umum, masyarakat berpendapat ganti pimpinan ganti kebijakan, begitupun yang terjadi pada menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, banyak di sorot oleh media dan para netizen, ada yang senang dengan kebijakan yang beliau terapkan dan tidak sedikit juga yang kurang sependapat dengan beliau.
Saya pribadi tidak menanggapi banyak hal, tidak menanggapi apa yang beliau sampaikan "kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi" atau yang beliau sampaikan "Kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya."Â
Saya juga tidak menanggapi apa yang beliau katakan "Kita memasuki dimana akreditas tidak menjamin mutu." Saya sama sekali tidak menanggapi itu.
Saat saya minum di sebuah restoran, bapak itu duduk tepat di meja  seberang saya, kami saling berkenalan, dia bercerita tentang hasil pertemuan dengan pejabat-pejabat di seluruh Indonesia dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia serta mencoba mengaplikasikan di daerahnya tentunya nanti sekembali dari sini, sayangnya dia minta jangan di sebut nama dan daerahnya saat saya sampaikan boleh nanti saya tulis di kompasiana.
Dia bercerita tentang kurangnya jumlah pendidik di daerahnya, hampir tidak ideal antara murid dan guru, belum lagi di daerahnya masih terdapat daerah yang jangankan komputer, listrik saja belum masuk disana, dan dia bercerita di daerahnya masih banyak guru honorer dengan penghasilan perbulan Rp 300.000,- saya membayangkan penghasilan sebulan seperti itu, mohon maaf bukan mengecilkan arti penghasilan itu, tapi saat kami membayar makanan yang kami makan direstoran ini, untuk berdua satu kali makan dan minum sebesar Rp. 205.000,-
Mungkin kita akan berfikir, ah....harga makan segitukan harga Jakarta, kalau di daerah sana ngak mungkin sampai sebegitu, ya...mungkin juga benar, tapi mari kita berhitung, anggap dia memiliki seorang istri dan dua orang anak saja, berapa biaya yang dia perlukan selama satu bulan, apakah cukup dengan Rp. 300.000,- tersebut.
Saya bertanya dengan bapak tersebut, sebuah jawaban yang nyata, mungkin juga di daerah lain yang mirip seperti ini, guru tersebut mencari tambahan penghasilan dulu di tempat lain, ada yang bekerja sebagai tukang ojeg, ada yang bekerja sebagai penyadap karet, bahkan tidak jarang guru honorer tersebut jam 09.00 atau lebih baru datang kesekolah untuk memberikan pelajaran, karena harus mencari tambahan dulu.
Pak Menteri, bagaimana ia akan maksimal memberikan pendidikan seperti yang bapak harapkan, kalau di kota dimana bapak berada mungkin ia, tidak menjadi persoalan ini, tapi bagaimana dengan yang disana, mereka mau kesekolah saja ada yang berjalan sampai puluhan kilometer, melewati sungai, gunung dan lembah.
Bagaimana ia maksimal akan meberikan ilmu kepada anak didiknya, kalau dirumah dia masih kekurangan.
Saya jadi bertanya-tanya mampukah mereka menjawab tantangan pak Menteri dengan Rp. 300.000,- per bulan ???
Lembang, 15122019