Mohon tunggu...
Misbah Murad
Misbah Murad Mohon Tunggu... O - "Tidak ada sekolah menulis; yang ada hanyalah orang berbagi pengalaman menulis."- Pepih Nugraha, Manager Kompasiana. chanel you tube misbahuddin moerad

"Tidak ada sekolah menulis; yang ada hanyalah orang berbagi pengalaman menulis."- Pepih Nugraha, Manager Kompasiana. chanel you tube misbahuddin moerad

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menapak Jejak Kejayaan Banten

24 Juni 2019   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2019   18:27 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer, kali ini kita menuju dan melihat-lihat Banten Lama, sisa-sisa kejayaan Banten. Terlihat dan masih terasa kalau kita berdiri, mengunjungi dan menyaksikan tempat-tempat yang dahulunya menjadi pusat-pusat pemerintahan, serta benteng-benteng pertahanan. Dari sekian tempat, yang sampai saat ini masih berfungsi dan digunakan adalah Masjid Agung Banten Lama, sedangkan yang lain tinggal puing-puing saja.

BENTENG SPELWIJK

dokpri
dokpri
Kali ini kita menjajal Benteng Speelwijk. Masih terlihat sisa-sisa kejayaan masa lalu di sini. Jarak antara Benteng Speelwijk dengan Keraton Surosowan sekitar 600 sampai 700 meter saja, cukup dekat, kalau dilihat dari posisi saya berdiri, benteng ini berbentuk persegi panjang, Benteng ini didirikan pada tahun 1682, beberapa kali mengalami perluasan. Perluasan pertama pada tahun 1685 dan yang kedua pada tahun 1731.

dokpri
dokpri
Dari penjelasan yang kami dapatkan saat ke Museum Banten Lama, Benteng ini dirancang oleh orang Belanda, karena memang kita dahulu dijajah oleh Belanda. Namanya Hendrick Lucaszoon Cardeel. Benteng ini dibangun pada kesultanan Abu Nasr Abdul Kahhar atau lebih dikenal dengan Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut cerita, Sultan Ageng Tirtayasa sangat mudah dibujuk oleh Belanda. Berbeda dengan sang ayah yang sangat tegas dalam urusan politik.

dokpri
dokpri
Entah pada tahun berapa benteng ini mulai hancur, namun ada beberapa bagian dari beberapa sudut yang masih nyaman dilihat. Fungsi Banteng ini ada dua, yang pertama sebagai pertahanan dan yang kedua sebagai pemukiman. Banteng ini yang mengontrol berbagai kegiatan Kesultanan Banten. Di tempat ini juga tempat Belanda untuk mengontrol dan memonopoli perdagangan, baik pedagang dari Cina yang ada di Lampung maupun pedagang dari Arab, India, dan Vietnam.

dokpri
dokpri
Kompasianer, menurut data yang ada, Benteng Speelwijk dilengkapi dengan empat bastion, jendela meriam, ruang jaga, basemen untuk gudang dan logistik, dan tambatan perahu. Kami juga sempat menyusuri bekas aliran anak sungai di sini, persis di hadapan vihara.

Masih terdapat sisa-sisa parit yang mengelilingi Benteng ini. Dahulu katanya memiliki kedalaman antara 1,5 sampai dengan 2 meter, dan perahu keluar masuk lewat sini.

Di sini juga terdapat menara pengintai. Kami mencoba menyusuri dan ber-selfie ria, hampir di semua titik sudut pandang, dan kami membayangkan betapa kokohnya benteng ini dahulu.

dokpri
dokpri
Benteng Speelwijk berada di Kampung Pamarican, namun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa benteng ini dibangun pada masa Kesultanan Banten. Jadi pembangunannya bukan murni oleh Belanda, yang mana diarsiteki oleh orang kepercayaan Sultan Ageng Tirtayasa keturunan Tionghoa bergelar Pangeran Cakradana.

Dahulu benteng ini berada di pesisir laut. Namun karena terjadi pendangkalan, posisi benteng ini jadinya berada jauh di daratan. Inilah yang mereka sebut Banten adalah kota di dalam benteng.

Menurut pendapat ini, pendapat yang pertama adalah pemugarannya, atau perluasan, jadi tidak salah juga kalau mereka bilang dibangun oleh orang Belanda. Jadi sebelum belanda masuk, benteng tersebut sudah ada. Sangat indah tempat ini.

KERATON KAIBON

dokpri
dokpri
Kompasianer, kali ini kami masih berada di kawasan Banten Lama Kabupaten Serang. Setelah tadi kami ke Benteng Speelwijk, kali ini kami menyusuri Keraton Kaibon. Letaknya di pinggir jalan sebelum memasuki museum Banten Lama.

Keraton Kaibon tepatnya berada di Kampung Kroya, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen. Jalan menuju lokasi ini sudah dibeton mulai tahun 2015 secara bertahap.

dokpri
dokpri
Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan cagar budaya Provinsi Banten. Dari buku dan penjelasan yang diberikan oleh petugas di museum dijelaskan, keraton ini dibangun pada tahun 1815. Keraton Kaibon dibangun untuk tempat tinggal, bukan untuk pusat pemerintahan. Dari sejarah yang ada, keraton ini adalah tempat tinggal Ratu Aisyah, karena saat itu Sultan Banten ke-21, Sultan Syaifuddin masih berumur 5 tahun.

Kami ke sini menggunakan kendaraan roda empat, dan masuk sampai lokasi. Tidak ada penjaga, hanya terdapat beberapa anak muda yang sedang melakukan kunjungan dan berswafoto. Tidak dirawat sama sekali. Semoga tidak ada tangan jahil yang merusak cagar budaya yang sangat sarat dengan sejarah ini.

dokpri
dokpri
Luas keraton ini disinyalir 4 hektar, dibangun dari bahan batu bata yang terbuat dari kapur dan pasir. Bangunan banyak yang hancur, yang tersisa adalah pondasi-pondasi dan beberapa pilar-pilar yang masih utuh.

Ada satu tempat seperti mimbar yang masih utuh, sepertinya ini difungsikan sebagai mushola atau masjid dahulunya. Ini hanya perkiraan saya saja karena tidak ada satu orang pun yang ada di sini tempat kami untuk bertanya.

dokpri
dokpri
Keraton ini dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1832, yang dipimpin oleh Gubernur VOC saat itu, Daendels. Hal ini dilakukan karena Sultan Syaifuddin menolak dengan keras permintaan Daendels untuk meneruskan pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan. Bahkan utusan jendral Daendels yang bernama Du Puy dibunuh Sultan dan kepalanya dipenggal lalu dikembalikan kepada Daendels yang tentunya marah besar. Maka dihancurkanlah Keraton Kaibon sehingga menjadi seperti ini, tinggal puing-puing.

Keraton Kaibon dibangun menghadap barat dengan kanal di bagian depannya. Katanya kanal ini berguna sebagai alat transportasi menuju Keraton Surosowan yang jaraknya tidak begitu jauh, terletak di sebelah utara Keraton Kaibon.

dokpri
dokpri
Melihat dari puing-puing yang ada dan dua keraton sebelumnya, terlihat jelas kejayaan Banten dahulu. Sayangnya penjajah yang bernama Belanda menghancurkannya.

Kompasianer, kalau mau melihat dan menjelajah di Banten lama. Perlu waktu satu atau dua hari, untuk menjelajah sisa-sisa kejayaan Banten masa lalu. Konon tempat ini banyak yang menggunakan untuk pembuatan vlog dan foto-foto prewed.

SOROSOWAN

dokpri
dokpri
Kompasianer, setelah menjelajah Keraton Kaibon, kini kami mengajak melihat dari dekat sisa-sisa kejayaan Keraton Surosowan. Keraton ini berjarak sekitar 14 km dari pusat kota, atau dari hotel tempat kami menginap. Keraton ini tepatnya di Kecamatan Kasemen, Kawasan Banten Lama. Sampai di lokasi, agak tinggi tempatnya. 

Beruntung ada anak tangga kecil yang diletakkan di tanah. Kami mencoba mendirikan anak tangga tersebut, agar kami bisa naik dan melihat sisa-sisa yang ada dari Keraton Surosowan, sisa-sisa saksi bisu kejayaan Banten dahulu.

dokpri
dokpri
Bangunan ini merupakan pusat kerajaan dan pusat pemerintahan kerajaan Banten. Di sini juga merupakan tempat tinggal Sultan bersama keluarga dan para pengikutnya. Menurut sejarah yang ada bentuk keraton ini pernah mengalami perubahan saat dipimpin oleh Sultan Haji pada tahun 1672-1687. Hal ini dilakukan karena keraton ini pernah dirusak oleh Belanda pada tahun 1680, kata sejarah ditambah di dinding di bagian sisinya.

Adapun arsiteknya orang Belanda, Hendrick Lucasz. Dengan ketinggian 2 meter dan lebar 5 meter, keraton ini difungsikan untuk meminimalisasi serangan Belanda yang pernah menyerang Keraton. Hendrick Lucasz menjadi mualaf dan masuk Islam. Atas jasanya dia diberi gelar oleh Sultan dengan nama Pangeran Wiraguna.

dokpri
dokpri
Keraton ini sendiri diperkirakan dibangun pada tahun 1526-1570, saat itu masih dipimpin oleh Sultan Banten yang pertama, yaitu Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana Hasanuddin adalah anak dari Sunan Gunung Jati, jadi Banten di beri wilayah oleh Sunan Gunung Jati, yang berdiri Keraton Surosowan ini.

dokpri
dokpri
Belanda menyerang kembali Keraton ini pada tahun 1813, dan menghancurkan kota dan bagian dari keraton, yang menyebabkan Sultan dan penghuninya meninggalkan Keraton. Saat itu penyerangan dipimpin oleh Gubernur Jendral Belanda Herman Daendels.

Keraton hancur, tersisa seperti bentuk seperti sekarang ini. Bahan bangunan keraton sendiri menggunakan bahan bata campuran pasir dan kapur sebagai bahan dasarnya.

Kompasianer, saat kami di sini sama seperti kami ke tempat bekas-bekas kejayaan Banten di abad ke-17, sepi tidak ada orang. Kami menuruni bekas-bekas reruntuhan ini. Namun kami hanya menebak, ini bekas rungan apa, ini bekas ruangan apa, karena tidak ada tempat untuk kami bertanya.

Keraton Surosowan ini berupa reruntuhan, terdapat sisa ruang yang masih bisa kita lihat dari atas tempat kami berdiri, ada seperti gerbang di bagian utara, ada seperti bekas kolam, cukup luas juga bentuk kolamnya.

Dari data yang ada, luas Keraton Surosowan mencapai 4 hektar. Ini juga merupakan salah satu benda cagar budaya yang ditetapkan oleh pemerintah Banten. Walaupun ini adalah sisa-sisa kejayaan Banten, tidak ada salahnya Kompasianer menjajal tempat ini, sebagai tambahan wawasan dan yang terpinting bisa berswafoto di sini.

MASJID PACININ TINGGI

dokpri
dokpri
Kali ini kami menuju salah satu tempat bersejarah di Banten. Walau bangunan yang ada tinggal secuil, namun ini dahulunya adalah tempat yang sangat sakra, yaitu Masjid Pacinan Tinggi.

Menurut catatan sejarah yang ada memang terlihat ada silang pendapat. Pertama menurut Banten Heritage mengatakan bahwa Masjid Pacinan Tinggi merupakan Masjid pertama yang dibangun di Banten Lama untuk imigran Cina yang memeluk Agama Islam, salah satunya adalah istri Sultan Syarif yang berasal dari Tiongkok.

Pendapat lain mengatakan bahwa Masjid Pacinan Tinggi sengaja dibangun sebagai satu-satunya tempat ibadah di Banten Lama, namun tujuan dibangunnya ini sama yaitu untuk tempat beribadah bagi imigran Cina yang memeluk agama Islam.

dokpri
dokpri
Kompasianer saat kami ke sini banyak sekali dari bangunan yang hancur dan tidak terpelihara. Hanya satu sisa bangunan yang berdiri dan sebuah petunjuk tentang Masjid Pacinan Tinggi. Menurut tetua setempat Masjid Pacinan Tinggi sudah tidak terpelihara sejak dibangunnya Masjid Agung Banten, karena semua aktivitas keagamaan semua di Masjid Agung Banten.

Ada yang berpendapat bahwa Masjid Agung Banten tadinya bertempat di Masjid Pacinan Tinggi ini, namun saat itu baru terbangun pondasi, mihrab, dan menara masjid hingga akhirnya tidak pernah terselesaikan.

dokpri
dokpri
Bangunan yang bergaya arsitektur Tionghoa ini tersisa Cuma Menara Masjidnya serta lantai Masjid dan mimbar Masjid.

Kami melihat tidak jauh dari Menara Masjid terdapat makam Tionghoa, makam itu satu-satunya dilokasi ini, tulisan Cina yang ada di itu masih sedikit jelas terbaca, dikuburan itu, kuburan sepasang suami istri Tio Mo Sheng dan Chou Kong Chian, batu nisanya tertulis 1843.

Walaupun sisa puing-puing, kami tetap berselfie ria di tempat ini.

MASJID AGUNG BANTEN

dokpri
dokpri
Kompasianer, pertama menginjakan kaki ke Masjid Agung Banten Lama, untuk melaksanakan solat zuhur, agak kaget juga pertama begitu memasuki arena masjid, banyak yang menawarkan foto keluarga langsung jadi dengan background menara masjid. Harganya tidak mahal Rp. 20.000,- dan filenya di transfer ke HP, alhamdulilah kami berfoto satu keluarga.

Masuk pelataran masjid kami dikagetkan lagi. Banyak yang menjual air di botol mineral. Awalnya kami mengira air mineral seperti yang dijual di toko-toko, ternyata air suci katanya dari sumur yang terdapat di sini.

dokpri
dokpri
Ternyata di sini ada makam-makam raja Banten beserta sebagian keluarga dan handai taulan raja. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin antara tahun 1552-1570, saat beliau memerintah. Bangunan ini memadukan dua unsur, unsur Jawa Kuno dan Tiongkok. Serambi yang lapang dan atap yang bertingkat, ada lima tingkatan yang menyerupai tumpeng.

dokpri
dokpri
Kompasianer, kali kedua saya ke sini saat Sholat Jum'at, dan kali ketiga pada malam hari satu syuro, banyak sekali pengunjung yang berziarah. Masjid ini dijadikan Pemerintah Banten sebagai salah satu cagar budaya yang ada. Penduduk sekitar sini menyebutnya Masjid Banten.

Saat malam hari saya ke sini, ada peziarah dari Madura, Pandeglang, dan Bogor. Mungkin banyak lagi yang lainnya, saya kebetulan hanya bertanya dengan mereka yang duduk-duduk beristirahat di dekat saya.

Ada dua versi yang menceritakan siapa arsitektur yang merancang pembangunan masjid ini, yang pertama mengatakan masjid ini dibangun oleh arsitek keturunan Tiongkok yang bernama Tjek Ban Tjut, sedang versi yang lain menyebutkan masjid ini diarsiteki oleh Raden Sepat dari Demak.

Kompasianer, malam itu saya mencoba sholat secara berpindah-pindah. Saya sholat dua rakaat pertama ada di serambi kiri, kemudian dua rakaat lagi di serambi tengah, dan dua rakaat lagi di serambi kanan, setelah itu masuk ke dalam masjid.

Di sisi kiri serambi masjid terdapat makam Pahlawan Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam keluarga kerajaan. Di dalam masjid berbentuk bujur sangkar, dengan beberapa tiang penyangga, juga terdapat mimbar di dalamnya.

Adapun menara di bagian depan, memiliki ketinggian 24 meter dan memiliki diameter 10 meter, dibangun oleh orang Belanda yang masuk Islam bernama Hendrik Lucaszoon Cardeel pada tahun 1629 atas perintah Sultah Haji.

Dulu fungsi menara ini sebagai bilal kalau mengumandangkan azan, juga berfungsi sebagai menara pengawas, dan tempat persembunyian senjata. Dahulu jarak antara pantai dengan masjid kurang lebih 1,5 km namun terjadi pendangkalan sehingga jarak pantai jauh sekali sekarang dari masjid.

Hayoo, Jelajah Indonesia.

Bogor, 24062019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun