"Sudah,....Abangkan di sana kerja,"
"Ngak usah nangis,"
Yoga cium jidatnya, cium kedua air mata yang menetes dipipi Anti, dia cium bibir Anti, Anti diam, masih menangis tanpa suara, hanya air mata yang menetes membasahi lengan baju Yoga.
Lampu bioskop sudah dinyakalan, bertanda pertunjukan telah selesai, Anti masih menggeluti tangan kanan Yoga, tetap terus menangis, sampai di parkiranpun menangis, tanpa mau bicara, Yoga ambil kunci mobil, dia yang menyetir, waktu menunjukan pukul sebelas malam, Yoga pacu kendaraan menuju markas, parkir tepat di halaman Kantor Orari  yang bersebelahan dengan markas mereka, markas telah sepi, tidak ada seorangpun.
Yoga ajak Anti duduk di teras tangga saja tidak masuk kedalam, Anti tidak mau minta diajak kedalam, Yoga beranjak dulu mengambil kunci di tempat rahasia, hanya 3 orang yang mengetahui letak kunci apabila markas terkunci, dia masuk kedalam setelah membuka pintu diikuti Anti, dia tutup pintu dan dia kunci dari dalam, Yoga menuju saklar lampu untuk menyalakan lampu dalam, tapi Anti melarangnya, biar dalam keadaan gelap katanya.
Mereka masuk keruang tamu, karena dari ruang tamu ada cahaya dari lampu luar tidak begitu gelap.
"Abang, jangan tinggalkan Anti ya ?"
"Abang kan kerja, kalau Abang tetap disini, Abang susah dapat kerja,"
"Ia, tapi Abang janji, ngak tinggalkan Anti,"
"Ia, Abang janji," kata nya
Anti berdiri dan memeluknya, air mata masih membasahi kedua pipinya, udara dingin malam, membuat mereka mempererat pelukan, mereka tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan, Yoga kehabisan kata-kata, Sentuhan tubuh mereka berdua menjelma menjadi sebuah kata kemesraan, bahasa kemenangan dan lepas, mereka saling meraba titik kehangatan, dalam batas kewajaran yang sedikit kurang ajar.