Mohon tunggu...
MiRa Kusuma
MiRa Kusuma Mohon Tunggu... -

Hobby menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Haibun] Hari Internasional Melawan Rasisme dan Diskriminasi

19 Maret 2011   00:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di taman bunga
Mimpi hati berseri
Bersama duka

Air mata menggenang
Mengenang masa perang

Perserikatan bangsa bangsa menetapkan tanggal 21 maret 1966 adalah hari internasional melawan rasisme dan diskriminasi. Penetapan hari internasional tersebut dinyatakan setelah kejadian kerusuhan rasial berdarah menentang pemberlakuan Kartu Identitas bagi orang yang berkulit hitam di kota Sharpeville Afrika Selatan (1960). Ketika itu polisi menembaki ribuan demonstran anti apartheid dan telah membunuh 69 orang.

Kekuasaan politik apartheid bangsa kulit putih di Afrika Selatan sudah dihapuskan, akan tetapi sikap dan tindakan diskriminasi atas perbedaan antar ras masih berjalan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai hari ini banyak negara di dunia masih menghadapi masalah ras dan ketidakadilan.

Rasisme atau politik diskriminasi di Indonesia itu diwarisi sejak zaman kolonialisme, hal tersebut dipraktikan di dalam golongan masyarakat pribumi dan non pribumi demi kepentingan politik adu domba penguasa, dijalankan secara sistimatis oleh sistim kekuasaan pemerintahan kolonial di Hindia belanda pada saat itu. Politik adu domba tersebut diterapkan untuk melemahkan persatuan dan kesatuan perjuangan bangsa untuk mencapai Kemerdekaan Indonesia.

Kemudian jendral Soeharto memakai kembali politik pecah belah dan menguasai alias "verdeel en heers" untuk menghancurkan secara sistimatis gerakan golongan kiri dan nasionalis progresip, yang mana dianggap sebagai lawan politiknya.

Sebagai taktik untuk mengamankan politik stabilitas superior rezim kekuasaan orde baru, maka dengan sengaja rezim militer Soeharto menciptakan bentuk konflik sosial selanjutnya, melalui kasus-kasus SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan). Kondisi seperti itu mengingatkan kita pada zaman kekuasaan Fasis Adolf Hitler, dimana doktrin Nazi menganggap bangsa Jerman sebagai ras Aria yang paling superior, sedangkan bangsa Yahudi dan lawan politiknya adalah bangsa paria yang harus dimusnahkan.

Sebagai salah satu contoh kasus SARA yang bisa kita lihat adalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan Kartu Tanda penduduk (KTP) dengan kode ET (Eks Tapol).

SBKRI khusus dibuat untuk warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, sedangkan KTP ET spesial untuk warga negara Indonesia yang dituduh terlibat atau simpatisan GESTOK 1965. Hal ini dianggap sebagai perlakuan diskriminatip dan telah dihapuskan pada periode Reformasi, namun dalam praktiknya masih diterapkan di berbagai daerah.

Sampai saat ini kasus rasialisme berkembang dalam proses yang lebih berbahaya dengan mengatasnamakan politik anti terorisme, dipakai sebagai rekayasa dan disponsori oleh kekuatan aparat negara, lalu dibantu juga oleh sekelompok preman yang direkrut dalam mekanisme sistim militerisme yang didukung oleh kepentingan politik ekonomi neo liberalisme.

Anti teroris
Pembangkit kebencian
Antar agama

Kasus peledakan bom
Menghujat cinta kasih

MiRa - Amsterdam, 19 maret 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun