Mohon tunggu...
M. Irsyad Maulana
M. Irsyad Maulana Mohon Tunggu... Makeup Artist - Mahasiswa

ZONA BACA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghadapi Pendidikan Islam di Era Globalisasi

20 Januari 2021   17:43 Diperbarui: 20 Januari 2021   17:52 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan Islam di era globaisasi

Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akin memengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat Muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam pada khususnya, termasuk pesantren khususnya " Pendidikan Islam dalam era globalisasi sebagaimana dampak disebutkan di atas, berada di persimpangan jalan. Yaitu, apakah pendidikan Islam harus mengikuti sepenuhnya tuntutan era globalisasi, atau tetap bertahan pada kepribadian dan karakternya sebagaimana yang ada sekarang Jika pendidikan Islam tersebut harus sepenuhnya mengikuti tuntutan globalisasi, maka ia terpaksa harus mengubah wataknya menjadi sebuah korporat yang tunduk sepenuhnya pada logika bisnis yang bernuansa kapitalistik, yang berwatak monopoli, saling mematikan, menghalalkan segala cara, individualistik, materialistik, dan sebagainya.

Sebaliknya jika ia harus tetap bertahan pada karakter utamanya, maka ia akan ditinggalkan oleh masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada sejumlah perguruan yang di masa lalu namanya demikian dikenal masyarakat, namun kini sudah ditinggalkan masyarakat, karena tidak lagi dianggap memberikan sesuatu yang mereka butuhkan. Sebaliknya ada pula lembaga pendidikan yang dari sejak berdirinya puluhan tahun yang lalu, namun masih tetap bertahan dan diminati masyarakat. Menghadapi problematika yang demikian itu, maka terdapat beberapa langkah inovatif sebagai berikut.

Pertama, melakukan perubahan visi, misi dan tujuan. Hal ini penting dilakukan, karena era globalisasi telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan, atau sebagai produk yang dijual pada konsumen yang harus menguntungkan. Hal ini terlihat, antara lain: (1) masyarakat lebih memilih program studi yang lulusannya mudah mendapatkan pekerjaan yang secara ekonomi menguntungkan.

Akibat dari keadaan yang demikian, maka program-program studi yang kurang marketable menjadi kurang diminati; (2) masyarakat menganggap bahwa biaya pendidikan yang dikeluarkannya merupakan invenstasi yang harus menguntungkan; (3) bahwa jumlah mahasiswa pada setiap kelas pada suatu prodi harus mencapal jumlah kuota tertentu, sehingga secara ekonomi tidak merugikan, atau menimbulkan break even point; (4) misi pendidikan adalah memberikan pelayanan yangmemuaskan kepada pelanggan (customer satisfaction); (5) tujuan pendidikan menghasilkan lulusan yang siap pakai (ready for use) untuk dunia industri dan usaha. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang demikian itu tidak sepenuhnya salah, karena melakukan aktivitas bisnis juga dianjurkan dalam Islam, sepanjang usaha bisnis tersebut sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan niat mencapai keridhaan Allah Swt., sehingga usaha ini memberi nilai ibadah. Untuk visi, misi dan tujuan pendidikan Islam harus disertai dengan upaya menjadikan pendidikan Islam sebagai pilar terdepan dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Dengan visi, misi dan tujuan ini, maka pendidikan tidak hanya diukur dari seberapa banyak memberikan keuntungan ekonor melainkan pada seberapa jauh pendidikan dapat memberdayakan sumber daya manusia, membangun, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi fisik, pancaindra, akal, hati nurani dan spiritualnya secara utuh, sehingga ia mampu melahirkan karya-karya inovatif baik fisik maupun nonfisik, material maupun nonmaterial sebagai modal untuk membangun kebudayaan dan peradaban.

Pendidikan bukan hanya menghasilkan para tukang atau pekerja untuk kepentingan kalangan usaha dan industri, melainkan sebagai orang orang yang dapat melakukan pencerahan bagi masyarakat, meningkatkan pola pikir, pandang dan kualitas hidup masyarakat. Dengan pandangan semacam ini, biaya atau modal yang dikeluarkan untuk pendidikan tidak hanya diukur oleh keharusan mengembalikan uang modal tersebut, melainkan dibayar oleh kehidupan masyarakat yang makin berbudaya dan beradab.

Demikian pula keberadaan prodi-prodi yang tidak atau kurang marketable juga jangan langsung dihapuskan atau dibubarkan, melainkan tetapi dipelihara dan dihidupkan dengan cara dibantu atau disubsidi oleh program studi yang markatahte Untuk itu, walaupun jumlah mahasiswa dalam prodi tersetrum hanya beberapa orang saja, seperti prodi/jurusan sejarah, antropologi, filsafi atau filologi, atau fakultas-fakultas agama, hendaknya prodi/jurusan ini temp dibuka dan dihidupkan, karena jurusan ini walaupun tidak secara langsung memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi, namun sangat berperan besar dalam melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, arif, bijaksani, berbudaya dan beradab.

Kedua, melakukan penyeimbangan kurikulum dan isi bahan ajar, antara ilmu-ilmu yang terkait dengan pengembangan fisik, pancaindra, dan akal dengan pengembangan hati nurani dan spiritual. Dengan cara demikian akan terjadi keselmbangan antara kekuatan pancaindra dan akal dengan kekuatan hati nurani (moral) dan kesadaran spiritual. Dengan demikian. berbagal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diterima para lulusan, tidak akan digunakan untuk tujuan-tujuan merusak atau melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat, melainkan agar meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berkembangnya budaya hedonistik dan materialistik yang menimbulkan berbagai penyimpangan moral, dekadensi moral, korupsi, dan sebagainya, menjadi bukti, bahwa lembaga pendidikan sudah berhasil melahirkan orang yang cerdas, terampil dan berpengalaman, namun belum berhasil menghasilkan orang yang memiliki kecerdasan moral dan spiritual. Mereka belum memiliki perasaan yang kuat, bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya itu akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

Perasaan (hati), penglihatan dan pendengaran mereka hanya mampu melihat hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi belum mampu melihat yang batiniah, sehingga belum mampu melihat hikmah, peringatan dan ajaran ilahiyah yang terkandung di dalam apa yang dirasakan oleh hati, dilihat oleh mata dan didengar oleh telinganya. Menghadapi keadaanniwa pendidikan Islam adalah moral dan akhlak mulia, yang selanjutnya menjiwai berbayang demikian, para pakar pendidikan telah berusaha keras memperbaiki keadaan lulusan pendidikan melalui penguatan pendidikan akhlak mulia dan pendidikan karakter. Masalah ini lebih lanjut dijawab dengan melakukan pembaruan kurikulum, yaitu dari kurikulum tahun 2004, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum tahun 2006, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum tahun 2013 yang tidak disebutkan namanya.

Kurikulum tahun 2013 ini disusun sebagai respons atas adanya kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya kasus-kasus perkelahian masal, yang penyebabnya antara lain, karena kurikulum yang ada sekarang (KBK/KTSP) adalah terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu diorientasikan dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini. Sejalan dengan itu, maka beban mata pelajaran yang bersifat kognitif atau sains pada tingkat Sekolah Dasar (SD) misalnya ditiadakan; dari yang semula 9 mata pelajaran hanya menjadi 6 mata pelajaran saja, yaitu Pendidikan Agama. Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya dan Keterampilan (termasuk muatan lokal), Pendidikan Jasmani, Olah dan Kesehatan (termasuk muatan lokal). Dengan dikuranginya beban Ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merasakan dunia kanak-kanak, bersosialisasi, berinteraksi, berkomunikasi bergaul, bermain dan melakukan berbagai kegiatan lainnya yang penuh makna Siswa SD sekarang tidak kagi dibebani dengan membawa buku yang berat di punggungnya yang menyebabkan bisa bongkok, karena keberatan menggeriding buku setiap hati. Rasa simpati, empati, bersahabat, bersosialisal, pengenalan lingkungan, dan keceriaan diharapkan dapat tumbuh dan berkembang pada pribadi peserta didik, sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar.

Ketiga, memadukan model pendekatan dan metode pembelajaran yang memadukan antara pendekatan behaviorisme dengan pendekatan konstruktivisme yang berbasis ilahiyah. Pada pendekatan behaviorisme pembelajaran banyak berpusat pada guru (teacher centris), didasarkan pada konsep belajar sebagai memberikan, menimba, dan mengumpulkan ilmu sebanyak-banyak, menempatkan siswa seperti kertas putih yang dapat ditulis apa saja, gelas kosong yang dapat diisi apa saja, atau lilin di atas meja (tabularasa) yang dapat dibentuk apa saja.

Behaviorisme dengan tokohnya John Locke, Skinner dan Pavlop, mendasarkan teorinya bahwa yang menentukan anak adalah lingkungan. Pendekatan behaviorisme dengan pendekatan pendidikan model banking sistem ini telah menyebabkan anak didik kurang kreatif, kurang mandiri, verbalistik, dan hanya sebagai reserver." Dengan pendekatan ini, maka metode pengajaran yang digunakan adalah ceramah, teladan, dikte. hafalan, dan sebagainya. Sementara itu, pada pendekatan konstruktivisme pembelajaran banyak berpusat pada siswa (student centris), didasarkan pada konsep belajar sebagai menumbuhkan, menggali, membina, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi dan kemampuan yang terdapat pada diri anak, sehingga menjadi aktual dan dapat menolong dirinya, masyarakat, bangsadan negaranya.

Konstruktivisme dengan tokohnya William Stern, Thorn Dieke dan Inin-lain, mendasarkan teorinya bahwa yang menentukan dan memengaruhi pribadi peserta didik adalah bakat bawaan sejak lahir (heredity). Metode yang digunakan adalah penciptaan lingkungan, penyediaan sarana prasaniu, media, situasi dan kondisi dan lainnya yang menyebabkan tumbuhnya kreativitas peserta didik. Metode yang digunakan, antara lain CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Quantum Learning CTL (Contexual Teaching Learning), PBL (Problema Based Learning), dan lain sebagainya " Sebagian ahli pendidikan Islam berpendapat, bahwa pembelajaran dalam Islam adalah konvergensi atau perpaduan antara behaviorisme dan konstruktivisme.

Pendapat yang sering didasarkan pada hadis Riwayat Bukhari-Muslim: kullu mauludin yuladu ala at fitrah fa abuwoh ayuahawidanihi, au yumassinihi au yunassiranihi: setiap anak yang dilahirkan membawa fitrah dan kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Fitrah disamakan dengan pembawaan dari dalam (nativisme), dan kedua orangtua disamakan dengan lingkungan. Perpaduan dari dalam dan dari luar itulah yang memengaruhi peserta didik. Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa baik behaviorisme (empirisme), konstruktivisme (viativisme), maupun perpaduan antara keduanya (convergensi) dari William Stem, semuanya itu masih bersifat anthropo-centris, berpusat pada manusia sepenuhnya dan belum melibatkan Tuhan. Di dalam pendidikan Islam yang berideologi humanisme feo-centris, bahwa yang menentukan keberhasilan pendidikan adalah perpaduan antara usaha manusia dan nidayah Tuhan

Keempat, menggunakan manajemen yang memadukan antara pendekatan sistem dan infrastruktur dengan pendekatan yang berbasis perilaku manusia Dengan pendekatan sistem dan infrastruktur memungkinkan berbagai pelayanan dapat diberikan kepada pelanggan, tanpa membedakan antara satu dan lainnya, dan tanpa harus mengenal owner dari sebuah lembaga pendidikan. Manajemen pendidikan seperti Total Quality Management (TQM), ISO dan semacamnya adalah berbasis pada pemberian kepuasan kepada pelanggan dengan berbasis pada sistem dan infrastruktur. Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai alat atau elemen dari sebuah organisasi, yang terkadang kurang diperlakukan secara manusiawi.

Manajemen itu menyebabkan hilangnya kehangatan hubungan yang bersifat kekeluargaan. kering jiwa dan makna yang dapat memicu ketidakpuasan dalam bentuk unjuk rasa dan demo. Manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur ini perlu dilengkapi dengan manajemen yang berbasis pada perilaku yang didasarkan pada hubungan dan komunikasi yang akrab, kepemimpinan yang efektif, budaya kerja yang unggul (great culture), reward and funishment yang adil. Culture yang demikian itu selanjutnya menjadi sumber nilai, sumber inspirasi. sumber imajinasi, sumber orientasi, dan menjadi pandangan kerja (cognitive framewor). Dengan cara seperti ini akan lahir para pekerja yang unggul dan memiliki etos kerja yang tinggi (great employer).

Kelima, dengan memperkenalkan kembali visi, misi dan tujuan pendidikan agama Islam secara komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena selama ini masyarakat dunia belum mengenal pendidikan agama Islam secara utuh. Mereka baru mengenal Islam hanya aspek fikih saja, tasawufnya saja, atau teologinya saja. Akibat pemahaman Islam yang demikian, maka terjadi fragmentasi, bahkan konflik di kalangan intern umat Islam sendiri, seperti antara Syi'ah dan Suni, Ahmadiyah, dan sebagainya.

Melalui pendidikan agama Islam, ini dapat dikemukakan, bahwa Islam adalah agama dunia. sesuai dengan pesan Al-Qur'an surat Al-Anbiya (21): 107 yang menyatakat caklah aku urus enakan Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam Berdasarkan visi ini, maka pendidikan agama dalam mengemban misi mengeluarkan manusia dari kehidupan gelap gulita lepada kehidupan wrang benderang (Lyukhrjakum minada dzulumat ila al-nu) (O5 Brahim, 14D, Memberantas sikap jahiliyah (keras kepala, menguramakan wujuan jangka pendek, tertutup hati, mata dan telinganya dari kebenaran) (OS AL Path, 148126) menyelematkan manusia dari tepi jurang kehancuran (OS AL Imran, [3 103), melakukan pencerahan batin, pikiran dan perbuatan (QS ALIsra' [17]i 82); mencegah timbulnya bencana di muka bumi (OS AL Aral, 12) 56).

Sedangkan tujuannya adalah untuk membina segenap potensi (isik pancaindra, akal, hati nurani dan spiritual) secara utuh dan unggul Agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka ibadah kepada Allah Swi. Selain itu, pendidikan agama Islam uga memiliki karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yakni komprehensif, kritis, humanis, militansi moderat, dinamis, toleran, kosmopolit, responsif, progresi inovatif, dan rasional (masuk akal) Visi, misi tujuan dan karakter pendidikan Islam yang demikian itulah yang diyakini, bahwa pendidikan Islam dan menjawab tantangan era globalisasi dan mengubah menjadi peluang dan keberkahan bagi umat manusia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun