Pada suatu hari di kelas menulis, aku menilai sebuah tulisan yang membuatku meneteskan air mata. Aku terkejut. Aku membacanya seakan seperti sedang berkaca. Pikiranku berputar menuju seorang anak SD kelas 6. Putraku sendiri, buah hatiku.
Dear parents...
Assalamualaikum.
Hai ibu dan ayah dimana pun kalian berada dan sedang apapun kalian sekarang. Semoga kalian sehat selalu dan dilindungi Allah. aamiin.
ini adalah beberapa paragraf tentang isi hatiku yang tak mau diungkapkan. Takut menyinggung perasaan kalian.
Dear parents yang tulus hatinya,
Engkaulah malaikat ku yang tak bersayap. Ibu dan ayah. Kalian iklhas membanting tulang untuk menyekolahkan ku, merawat ku, memberikan kasih sayang, menyediakan tempat tinggal, dan membimbing ku menjadi insan yang bermulia.
Dear parents,Â
Maafkan aku yang tumbuh menjadi seorang anak yang tak sesuai harapan kalian. Padahal kalian sudah bersusah payah menuju harapan tersebut. Kenyataan memang tidak sesuai realita. Tapi apakah yang kalian harapkan itu baik buat kami? Apakah yang kalian sukai itu baik buat kami?
Hai ibu, hai ayah. Aku bukanlah manusia yang bisa kalian perintah sesuka hati dan kalian atur seenaknya. Aku punya minat, hobi, pemikiran dan kegemaran yang berbeda dengan kalian. Mungkin kalian berharap aku jadi dokter, tapi apakah aku suka? Apakah aku mampu?
Kemudian jika ada anak yang pandai matematika, tapi aku tidak bisa. Lalu kalian bandingkan dengan anak tersebut. Kalau aku tidak pintar bagian itu bagaimana? kalian menuntutku untuk bisa. Aku disuruh les ini...les itu. Tapi akhirnyaa nya aku memang tak bisa. Tolong mengerti lah. Â Jangan bandingkan aku dengannya! Semua anak itu unik. Semua manusia itu unik! Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.