Mohon tunggu...
Mira Rahmawati
Mira Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Pemula

Belum tahu apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Hujan dan Si Perempuan

14 September 2020   23:47 Diperbarui: 15 September 2020   00:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan | pixabay.com

Tatapan si perempuan dianggap ganjil oleh si hujan. Sebetulnya si perempuan pun tak pernah ingin diperhatikan, termasuk oleh si hujan. Dengan berusaha menghindari si hujan, perempuan itu mengalihkan matanya pada meja di hadapannya. Lalu, ia pun menoleh ke belakang seakan-akan ada yang memanggilnya dari pintu masuk yang ada di sana. Padahal tak ada yang masuk atau orang yang memanggil. Di sekitar situ hanya ada orang-orang yang tertawa. Si perempuan pun bergegas membalikkan wajahnya ke semula dan meminum pesanannya tadi seperti tak terjadi apa-apa.

Musik pop era 2000-an yang dari tadi memenuhi ruangan tetiba disadari oleh si perempuan. Makin lama makin kuat terasa nostalgianya. Si perempuan yang sedang mengabaikan hujan ini lalu lebih sering memandang-mandang. Melirik meja disampingnya, melihat kasir yang sedang menghitung harga diusili oleh pegawai yang lain, melihat pada nasi yang tumpah di tempat yang terpisah dua meja dari tempatnya. Ada kekesalan tersendiri saat si anak yang menumpahkan nasi itu. Ia diam-diam mencibir ibunya yang asik berbincang di telepon. Si anak malah berkeliaran ke sekitar meja-meja lain. Dua orang yang di sampingnya pun terus tertawa lalu cekikikan sambil bergantian memegang hp yang sama. Si perempuan menenangkan diri dengan mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Menatap ke luar jendela sebentar, lalu mengelilingi ruangan kembali dengan matanya. Ia tetap duduk di sana. Dan tak ada yang peduli kecuali si hujan di luar jendela.

Ia diam di ruangan itu meski bosan. Ia tak punya tujuan lain. Jelas ia bertahan bukan untuk menikmati lagu-laguitu. Ia hanya ingat kalau lagu itu kesukaan teman sebangkunya di SMP, yang terus-terusan diputar dan dinyanyikan sampai ia muak mendengarnya. Karena sudah lama tak mendengarkannya, ia merasa lagu itu lebih baik ketimbang dua orang cekikikan atau si anak yang berkali-kali mengelebat  di dekat mejanya.

Si hujan tak banyak waktu. Ia terus menyapa lewat kaca, sesaat sebelum menggelincirkan dirinya ke bawah jendela. Terus menagih jawaban atas pengabaian si perempuan. Bagi hujan, boleh saja si perempuan marah pada orang yang cekikikan atau si anak, atau pada nasi tumpah yang belum dibereskan itu. Tapi, ia tak tahan diabaikan. Baginya hanya jiwa yang angkuh atau kelewat tak peka jika seseorang tak hanyut pada suasana yang dibawa olehnya. Ia tak mau menunggu lama lagi karena boleh jadi si perempuan takkan peduli lagi saat hujan yang mendatang meminta perhatiannya lagi.

 Sebagai pengganti jawaban, si hujan mulai menerka-nerka jawabannya sendiri. Terkaan yang dimilikinya saat ini hanyalah berpikir bahwa mungkin si perempuan kesal karena sinar matari sore tak datang karena dirinya. Namun, apakah itu dianggap suatu masalah? Apakah ketika hujan tiba saat malam si perempuan kesal karena bulan tak datang? Bukankah hujan pun sering ditunggu bahkan dijadikan inspirasi tulisaan selayaknya matahari senja dan bulan? Atau apakah si perempuan begitu suka dengan matahari? Si hujan tetiba merasa lelah karena asumsinya sendiri.  Rasa penasaran membuatnya gatal. Ia kemudian meminta kilat di langit datang membantunya mendapat perhatian si perempuan.

Terkejut, si perempuan pun menggeser kursinya dan menjauhkan sikut kirinya dari kaca. Dia melihat jendela tempat si hujan terlihat merangkai suasana. Ia menatap kosong yang menjadi tanda tanya bagi hujan. Si hujan pun akhirnya menonton tingkah perempuan itu. Tidak ada petunjuk jawaban yang diinginkan si hujan. Tapi ia merasa sedikit mengerti sekarang, dan mungkin begitulah perasaan si perempuan padanya. Ada semacam kegetiran.  Si perempuan  lalu menggigit-gigit bibirnya sambil menatap-natap ke penjuru ruangan. kegelisahan berganti menjadi kesenduan lalu menjadi kehampaan dalam waktu yang singkat. Ia pun tersenyum dan menopang dagu dengan kedua telapak tangannya. Suara ruangan itu tetiba senyap, tak ada orang tertawa, anak yang berlarian, atau orang yang bertelepon. Lagu yang didengarnya pun berubah tiba-tiba, bukan berasal dari speaker ruangan atau dari hp-nya. Si perempuan sepenuhnya mengabaikan si hujan. Telunjuknya secara tak sadar menunjuk dan menggores-gores embun di kaca jendela, menuliskan sebuah nama. Dalam pikirannya, ia memutar lagu yang kesayangan nama itu, melamun makin dalam sampai hujan berhenti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun