Mohon tunggu...
Mira Rahmawati
Mira Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Pemula

Belum tahu apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Industri KPop dan Pertarungan Idealisme di Dalamnya

31 Agustus 2020   14:14 Diperbarui: 31 Agustus 2020   14:23 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seo Taiji & The Boys  (Sumber: Koreaboo.com)

Tahun 1992 menjadi tahun yang mengguncang industri musik Korea. Pasalnya, Seo Taiji and The Boys muncul dengan musik bergenre paduan dari hiphop dan tekno, dan rock, jauh berbeda dengan aliran yang sebelumnya didominasi musik folk seperti ballad dan trot. Selain genrenya, Seo Taiji and Boys terkenal karena mendobrak norma yang saat itu tabu, yaitu mengkritik sistem pendidikan dan pemerintah di sana sehingga mendapat banyak mendapat kritik sekaligus menggaet simpati, terutama dari simpati kaum muda.

Dari sanalah istilah KPop lahir dan mulai berkembang dengan munculnya KPop generasi pertama yg ditandai grup H.O.T. yang didirikan SM Entertainment tahun 1996.  Genre musik KPop pun kian beragam tiap generasi sebab hasil kawin silang dari genre-genre yang ada sebelumnya, terutama genre yang lahir di Amerika seperti Hiphop, pop, RnB, jazz, trot dan sebagainya. Oleh karena itu, musik KPop terkenal karena keunikannya karena memiliki warna musik baru dibanding yang lain.

Sayangnya, tak seperti genre musiknya yang berkembang, di sisi lain, idealisme sebagai inti dari musik yang dipelopori oleh Seo Taiji ini justru mengalami nasib sebaliknya. Setelah Seo Taiji, KPop diciptakan secara industrial. Sejak generasi pertama dibentuk, calon idol umumnya direkrut oleh perusahaan hiburan, lewat audisi atau casting jalanan. Oleh karena itu, sebelum debut menjadi idol, mereka harus menjalani masa training dan mengasah kemampuan menyanyi/rap, menari, hingga public speaking.

Mereka diciptakan untuk menjadi performer yang sempurna, secara fisik, kemampuan, hingga moral. Karena selain bermusik, mereka banyak melakukan aktivitas di bidang hiburan lain, termasuk menjadi ambasador produk komersil maupun program-program pemerintah. Efeknya, masyarakat atau fans yang umumnya masih muda memiliki ekspektasi yang tinggi berkenaan moral dan idealime yg harus dimiliki para idol ini. Sekalipun mereka kampanye mengenai lingkungan atau mewakili negaranya dalam hubungan diplomasi, pandangan politik sebagai individu akhirnya harus direduksi atau disamarkan sebisa mungkin untuk disesuaikan dengan permintaan sponsor atau audiens yang beragam secara rasial, geografis, maupun ideologis.

 Apabila imajinasi ideal itu tidak diwujudkan, para artis ini harus menghadapi kritik bahkan ancaman dari fans atau masyarakat umum. Hal ini pun berpengaruh pada karirnya secara keseluruhan. Seperti yang terjadi pada Choi Siwon dari Super Junior yang ketahuan me-like postingan aktivis demontrasi Hongkong tahun lalu. Akibatnya, fans China memprotes perilakunya tersebut. Berbeda dengan dengan artis-artis lain yang berasal dari China bahkan dari Hongkong sendiri umumnya menyatakan dukungan pada pihak polisi atau pemerintah China. Meskipun mereka mendapat simpati audiens China daratan, mereka justru mendapat antipati audiens Korea yang umumnya mendukung demontrasi Hongkong.

Dalam kasus lain, awal tahun ini fans (terutama dari Amerika) menuntut para idolanya terutama yg pernah hidup atau warga negara AS untuk menyatakan solidaritas dan berdonasi atas tragedi diskriminasi yang menimpa George Floyd, seorang warga kulit hitam hingga terbunuh. Lewat interaksi antar fans KPop, kesadaran Black Live Matters ini pun makin luar menjangkau orang-orang di luar Amerika, terutama pada orang-orang yang belum mengetahui masalah rasialisme ini. Selain meminta solidaritas para artis karena KPop sendiri lahir dari genre yang lahir dari budaya kulit hitam Amerika dan mereka memiliki flatform yang besar, tuntutan ini menunjukan bahwa fans jauh lebih vokal menyuarakan idealismenya dibanding artisnya. Dan lebih dari itu, fans baik dari latar belakang sosial atau geologis manapun mendambakan idolanya untuk memiliki idealisme yang sama dengan apa yang mereka percaya.

Selain konflik idealisme yang terjadi antara idol, agensi, dan fans, dinamika politik Korea dengan negara lain pun ikut mempengaruhi industri ini hingga membuat perusahaan-perusaahaan hiburan harus berputar otak untuk menyiasatinya. Seperti pelarangan KPop di China sejak tahun 2018 seiring buruknya hubungan diplomatik Korea dengan China, membuat mereka mencari pasar baru atau mendirikan label secara terpisah di negara tirai bambu itu.

Tak seperti musiknya yang kerap mengawinkan genre berbeda, perbedaan idealisme menimbulkan pertengkaran yang sengit dan tampaknya takkan segera meredam mengingat bagaimana beragamnya latar budaya yang hadir dan komunikasi yang minim. Tuntutan idealisme yg tidak tercapai ini menimbukan kekecewaan atau kebencian, terutama di kalangan fans. Di sisi lain, para artis mungkin tak mengetahui secara jelas isu tersebut atau sekalipun mereka tahu, mereka memilih diam. Alasannya tentu karena beresiko merusak hubungan baik dengan fans atau sponsor yg dua-duanya berperan penting bagi si artis dan perusahaan yang menaunginya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun