Malam ini, aku tumpah. Segelas kopi di depanku dengan es batu membuatku canggung dan malu. Asha, kali ini dia yang menjadi tempat berceritaku ---juga aktor yang siap mendampingi drama mata-mata hasil imajinasiku.Â
Aku jarang curhat kepada Asha. Terlepas dari ia seorang mahasiswi bimbingan konseling yang siap menerima curhatan manusia, terutama aku, teman dekatnya, aku tetap saja tidak bisa sembarangan untuk bercerita kepada siapapun.Â
Aku memutuskan berbincang dengannya melalui chat. Kuawali dengan, "Sha," Panggilku seakan mengajaknya untuk berbicara tatap mata. Tak lama, Asha membalas chatku dengan seadanya, "Iya?" Sepertinya Asha mulai terbiasa dengan jurus bertele-teleku ketika akan mulai curhat dengannya. Satu pertanyaan sederhana yang mewakili inti topik malam ini,Â
"Kamu suka kopi?" Tanyaku yang terdengar seperti menawari Asha.
Spontan Asha, "Aku nggak bisa," Ah, aku lupa Asha nggak bisa minum kopi. Aku hampir merusak estetika percakapan malam ini.Â
Sedikit informasi, aku adalah manusia yang suka bertindak dengan pola berlapis-lapis. Apa yang kucerna, apa yang kusampaikan, tidak pernah bisa benar-benar gamblang. Sewaktu-waktu, aku bisa berkata tidak, sewaktu-waktu juga aku bisa berkata nggak. Sadar tentang ini?Â
"O iya, ya, kamu nggak bisa minum kopi,"
"Aku nggak suka kopi, Sha, nggak pernah suka kopi, nggak yang candu atau gimana-gimana,"
"Kalo lagi pengen aja, baru aku minum,"
Jabarku berturut-turut. Kalau seseorang bertanya ikhtisar tulisan kali ini, aku akan memilih komunikasi rahasia sebagai jawabannya.Â
Sembari menunggu Asha merangkai kode rahasiaku, aku menjabat tangannya lalu,
"Kamu bersedia nggak, Sha, kalo aku berkeluh kesah?" Imajinasiku berkata bahwa Asha seperti memicingkan matanya dengan irama detak jantung yang menjadi sedikit lebih cepat ketika mendengar perkataanku.Â
Di dunia ini, aku dan Asha tak lebih hanya beridentitaskan manusia biasa. Seorang gadis lugu yang belum mengerti apa-apa, berstatus teman dekat yang memiliki hobi tidak jauh beda dari gadis belia seusianya.
"Gas, langsung aja," Huruf G, 14 huruf, 1 tanda koma; kode komunikasi yang hanya dimengerti oleh kami. Data-data penting sudah kupersiapkan di dalam otakku. Misiku kali ini adalah mengirim surat penting di antara amplop-amplop yang sisanya hanyalah surat biasa. Aku adalah peran utama dalam keberhasilan misi ini. Aku harus hati-hati. Kuambil amplop-amplop dari ranselku, kugenggam dengan kedua tangan, kemudian,Â
"Makasih, Sha. Sebenarnya gini, aku nggak ada masalah aneh-aneh kok. Tapi memang, aku nggak bisa berhenti minum rasanya kalo udah ada kopi di depanku. Sejauh ini, kopi emang bikin nggak ngantuk, kebetulan juga aku nggak terlalu sering merasakan efek ini, jadi ini nggak begitu mengganggu. Masalahnya adalah setelah itu, dadaku bisa sering sesak selama kurang lebih semingguan. Meski gitu, aku nggak bisa bohong, kopi itu enak. Andai kopi nggak ada di dunia, pasti akan mempermudah hidupku. Buruknya juga adalah ketika aku stres, justru pelarianku minum kopi, Sha. Mana ditambah es batu lagi. Kan seger banget diliat doang. Sebetulnya, pengen gitu ke cafe mahal, atau minum kopi tubruk sesekali, biar nggak kopi sachet aja gitu yang aku minum. " Segmen 1: selesai. Selanjutnya, aku akan berpura-pura terpeleset ketika hendak menyodorkan surat-surat dengan kedua tanganku. Kemudian, secara diam-diam, aku telah memasukkan amplop yang asli ke saku bagian dalam coat Asha. Setelahnya, aku akan berpura-pura malu dan bersikap salah tingkah sambil melancarkan segmen 2,