Saya meminjam judul 'The Avenger Team STM' dari seorang penulis bernama Kafil Yamin. Dua hari ini menjadi sorotan netizen karena tulisannya yang singkat, padat, namun mengena di hati.Â
Belakangan ini saya dibuatnya sedih dan bertanya-tanya. Oleh pemberitaan bahwa aparatur negara yang seharusnya mengayomi masyarakat justru sebaliknya melakukan tindak amoral. Demostrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai penjuru daerah banyak memakan korban. Tidak terelakkan. Dengan membabi buta pihak yang dipersenjatai melepaskan tinju, pukulan, tendangan dengan sangat sadis. Beberapa di antaranya terluka, tewas dan bahkan ada yang hilang tanpa berjejak.Â
Tentu ini tidak seimbang. Mengingat para mahasiswa tidak membawa apa-apa. Datang berkunjung ke gedung DPR hanya berbajukan jas almamater dan segenap semangat untuk perubahan lebih baik.
Demostrasi yang dilakukan penuh damai oleh mahasiswa tidak ditanggapi serius. Pihak terkait menyambut kehadiran mereka hanya sebagai bagian dinamika bernegara saja. Setelah mereka letih berorasi maka keadaan akan membaik kembali.
Namun tanpa diduga di tengah hiruk pikuk para demostrasi yang mengaspirasikan suara hati rakyat, di depan dewan yang terhormat. Ketika mahasiswa diletihkan oleh serangan yang tidak berimbang. Geruduk masa menghunjam di seluruh penjuru jalanan. Bukan 'alumni 212, bukan pula 'The Power of Emak-emak atau bukan pula para pendukung oposisi. Namun mereka itu adalah anak-anak STM.Â
Mereka bagai lautan manusia berjalan beriringan menuju para demonstran berkumpul. Dengan tanpa malu-malu mereka menyanyikan lagu 'assalamualaikum.... serentak, tanpa basa basi, tanpa komando, lepas begitu saja.
Apa yang membuat mereka terilhami, memiliki kekuatan untuk mengikuti jejak para mahasiswa yang sedang berdemo?Â
Ya, mereka melihat dengan mata kepala sendiri. Mendengar dengan telinga sendiri dan merasakan dengan hati. Apa yang terjadi di sekeliling mereka adalah real. Ketidakwarasan dalam menangani demonstrasi yang jelas memiliki hak untuk berkumpul, berpendapat sesuai dengan undang-undang, telah dikebiri.
STM datang dengan dalih ingin membantu kakak-kakak mahasiswa. Layaknya prajurit gagah perkasa, menggendong tas di punggung, mereka mengatakan, biar kami saja yang mengeksekusi sementara yang bertugas orasi kakak mahasiswa.
Punya kekuatan apa anak STM itu sehingga nyalinya begitu kuat? Menghadapi aparat kejam dan biadab, dipersenjatai lengkap dengan pentungan dan tameng. Ah apalah itu. Bergelayut di tubuh tegap seorang aparatur negara. Secara logika, tidak mingkin!
Namun tanpa dinyana. Mereka bergerak masif. Tanpa ada yang memberi aba-aba. Tanpa diberi komando. Sejadi-jadinya. Mereka kompak memberikan perlawanan dengan seimbang.Â
Tidak ada yang tahu keberanian anak-anak STM ini sebesar apa. Gas air mata yang meluncur deras ke arah anak-anak STM dilempar kembali. Begitu seterusnya sampai para aparat pun panik, tercerai berai. Bahkan semprotan air yang menghunjam, menjadi candaan. "Gua mau air. Gua mau air. Sini tambah!" Teriak anak-anak STM. Tak ada rasa gentar. Tak ada rasa takut. Mereka bermain dengan riangnya. Sampai semua amunisi yang dimiliki oleh para aparat habis. Dan telak dipukul mundur oleh anak-anak STM hingga terkepung di apartemem Semanggi.Â
Pada akhirnya para aparat menyatakan damai. Kemudian anak-anak STM mendesak mereka supaya berada di barisan para demonstran.Â
Apa yang dilakukan para demonstran? Membalasnya dengan perlakuan yang sama seperti yang dilakukan aparat terhadap teman-teman mahasiswanya? Ternyata tidak!Â
Mereka lebih bernorma dibandingkan aparat.Â
Pun ketika ricuh menggiring kendaraan polisi, masih sempat-sempatnya anak-anak STM ini berteriak, "Jangan rusuh woi! Jangan rusuh!" Juga ketika adzan Maghrib berkumandang, sedangkan polisi berjibaku dengan gas air matanya, "Tahan dulu woi. Belajar ngaji lo."Â
***
Terkadang kita perlu belajar dari mereka dengan tidak memandang sebelah mata. STM dengan penampilannya yang 'slebor dan acak-acakan. Tak melulu lebih buruk disandingkan dengan prilaku mereka. Pun bisa lebih baik dari aparat yang terbilang berpendidikan dengan seragam rapi, bergaji dan memiliki fasilitas lengkap yang menempel di bajunya. Namun belas kasihnya tidak ada, etika tidak dipakai.
Andaikan tidak bersikap represif, tentu ada jalan lebih baik.
27 September 2019