Namun nuraninya memberontak. Di setiap sulur urat di hatinya berkata, jujurlah ... jujurlah ... jujurlah .... selalu itu yang dikatakan.
Pada akhirnya kegoannya menyerah. Nuranilah yang menang dan berani angkat kebenaran. Dudung dengan gagahnya bagai kesatria Majapahit datang menemui Bu Rini di depan kelas. Diceritakannya apa yang terjadi.Â
Dan ketika Bu Rini selesai mendengarkan penuturannya, tepukan lembut di pundak Dudung serasa membesarkan hatinya.
"Kau hebat Dudung. Angkamu hanya kesekian prestasimu di dunia. Tak akan berpengaruh apa-apa tanpa ada nilai kejujuran di situ. Akal budimu-lah yang sebenarnya lebih layak untuk kuacungi jempol. Angka seratus ini, hanya kerangka luarnya saja. Terlihat sempurna namun tanpa ruh dan jiwa yang baik untuk apa. Tidak akan menjadi apa-apa. Nol besar. Kamu adalah orang yang jujur. Dan harganya semahal kamu mempertahankannya. Hanya orang-orang ini yang kelak mendapat kepercayaan." Sekali lagi pujian Bu Rini dilayangkan kepadanya.Â
Sementara Rina dengan bangganya merpertontonkan nilai sembilan puluh lima di hadapan kawan-kawan sekelas. Hasil contekannya itu telah membawanya kepada kemenangan. Itu tidak mengapa, menurutnya. Tak akan membuatnya rugi, justru apa yang dia lakukan akan membanggakan kedua orang tuanya. Baginya nilai tinggi sebagai penanda bahwa dia memiliki kemampuan yang sama dengan Dudung.Â
Tentu saja tidak.
23 April 2019