Mohon tunggu...
Cathaleya Soffa
Cathaleya Soffa Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Bersyukur dan jalani saja hidup ini. Man jadda wa jadaa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kenangan dan Sekeranjang Apel

5 April 2019   17:22 Diperbarui: 25 April 2019   14:15 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsumsi Apel agar Tidak Cepat Tua - Info Sehat Klikdokter.com

Memulakan senja kali ini dengan memandang cerlang sinaran surya, menabur benih benih hujan yang nyaris tumpah ke titik jingga. Kenang kenang melayang meremang, di tengah biru langit yang teduh. Kau memasang sekoci bintang bintang yang runtuh. Sebelum langit malam luruh. 

Kini setelah senja menapak di tepi langit yang tak lagi berwarna tembaga. Jalanan yang pernah kita lalui itu masih tetap sama. Ia berkelok. Menanjak. Menikung. Menurun. Tanpa tepi menghadirkan sedikit jejak jejak murung, jalanan itu masih tetap sama. Sampai kepada pohon pohon yang hilang. Mengangkasa, berebut tanah tanah yang koyak. Kecuali savana dan sedikit rimbun ilalang. 

Sebelum senja pergi. Dan langit malam berganti sunyi. Aku rubuh di bawah langit runtuh. Menghitung lekukan awan awan. Merendamnya dalam cairan sulfat. Menghempaskan seluruh jeri. Biarkan saja menjadi hujan yang mematikan. Membunuh lusinan anak anak durjana. Yang terpenjara dalam ruang ruang tanpa cahaya. 

Senja pasti akan bertanya. Mengapa tak kau peluk saja ia? Awan awan itu kapas kapas yang akan membuatmu tertidur. Ia akan menjelma kasur. Ia akan menjelma bantal. Atau guling yang bisa kau peluk. Bukan racun racun mematikan. Membunuh banyak nyawa.

Aku tak tahu,  jawabmu. Aku hanya senang bersenang senang. Mensunyikan gradasi, melembabkan ruang ruang angkasa. Kemarin. Kemarin ketika langit pecah berantakan. Dan aku bersembunyi dibalik rimba pohon pohon apel yang tumbang. 

Lalu aku berkemas pergi. Muak menepikan sunyi. Sendiri. Lintasi nirwana dengan sepotong geram. 

Kemudian jingga menukik di wajah langit itu. Dia membuat banyak hempasan rona, hingga langit tak sempat lari menghindarinya. Lantas bayu yang mencacah rupa bergeming. Seribu tanda tanpa nyaring pun hening. Tak ada apa apa. Yang hilir penuh rona. Hanya senja yang kulihat itu, kita yang bercengkrama. 

Kulihat wajah kita di sana.

Aku termangu. Terseret dalam kenang kenang kita terdahulu. Lancang mengumandangkan rindu tanpa wajahmu yang hilang ditelan sangkakala. Lantas aku tersesat dalam keping keping puzzle. Jauh terderak dalam lamunan kenang kenang kita yang tergenang. 

Ya.  

Menyusuri jingga hingga daun berubah warna. Hanya bayang bayang itu. Siluetmu itu tajam di bayang lensa mata. Tergugu saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun