Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Surat Kakek Tua untuk Perempuan Setengah Baya

14 November 2021   21:10 Diperbarui: 14 November 2021   21:12 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Surat Kakek Tua untuk Perempuan Setengah Baya

Tidak ada airmata yang keluar dari kelopak mata para pengantar di pemakaman. Gerimis yang tiba-tiba hadir seolah sudah mewakili mereka. Gerimis membuat dedaunan di sekitar pemakaman yang terletak diujung Kampung itu basah kuyup. Gerimis membasahi gundukan tanah yang masih merah.

Para pengantar berangsur meninggalkan pemakaman. Hanya dua orang yang berlainan kelamin dan tampak seusia yang masih bertahan di sana. Sementara gerimis mereka biarkan membasahi tubuh mereka.
" Jadi Ibu yang selama ini mengurus bapak saya?," Suara seorang lelaki setengah baya terdengar dikeheningan. 

Tak ada sahutan dari dari seorang yang disapa dengan panggilan Ibu itu. Kebisuan melanda mereka.

Keduanya beranjak meninggalkan pemakaman sepi itu. Menaiki sebuah mobil merk terkini yang parkir tak jauh dari pintu masuk pemakaman. Ini pertama kali bagi Ibu setengah baya itu naik mobil. Keduanya kembali menciptakan kebisuan saat berada di dalam mobil.

lelaki setengah baya itu membawa mobilnya menuju sebuah Rumah Makan ternama yang ada di Kota itu. Dan ini bukan pertama kali bagi perempuan setengah baya makan di sini. Sebelumnya kakek tua yang baru saja dimakamkan itu sering megajak makan disini saat dirinya mengantar Kakek tua mengambil uang pensiunnya di sebuah bank.
Keduanya tampak sangat lahap menikmati makanan yang tersaji diatas meja. Mereka seolah-olah baru saja mengerjakan sebuah pekerjaan yang menguras banyak tenaga.
" Apakah Ibu tahu apa yang diwariskan ayah saya untuk Ibu dalam surat wasiatnya itu?," tanya lelaki setengah baya itu.
Perempuan setengah baya itu menggelengkan kepalanya.

Dia masih asyik menghabiskan lauk pauk yang masih ada di piringnya.
Terngiang diotaknya nasehat Sang kakek tua saat mereka makan di warung makan itu, sebelum kakek Tua meninggal.
" Jangan sia-siakan butir nasi yang ada dipiringmu. Makanlah seukuran perutmu saja. Masih banyak orang diluar sana yang masih belum bisa menikmati makanan seperti kita," ujar kakek tua yang masih terngiang diotaknya.

Sesungguhnya Ibu setengah baya itu tidak mengerti bagaimana dia bisa dijadikan pewaris oleh kakek. Kalau bukan karena secarik kertas yang ada di genggaman tangan sang kakek, ia tidak akan tahu tentang hal ini. Dia juga tidak tahu apa warisan kakek untuknya.
Yang dia lahu, kakek hidup sebatang kara di sebuah rumah kecil yang terhimpit oleh pagar beton dua rumah mewah. Bahkan sebuah pohon besar berdiri tepat di depan lorong menuju rumah kakek, seperti sengaja ditanam agar tidak tampak rumah kumuh berdiri di antara rumah megah. Apa rumah itu yang akan diwariskan kakek tua itu kepadanya?

Selama ini dia tidak pernah mendapati kakek tua mengeluh akan suatu penyakit. Dia hanya sering mendengar kakek batuk-batuk, yang menurutnya lumrah dialami oleh orang setua kakek.

Pagi itu, saat matahari mulai menebarkan senyuman, kakek terlihat lemah. Dengan suara parau, kakek memintanya untuk menemui seseorang yang nama dan alamatnya sudah beliau tuliskan dalam selembar kertas untuk dibawa ke rumah beliau.
Dengan dibantu tetangganya, menaiki sebuah motor butut, keduanya bergegas  menuju alamat tersebut. Lantas dia menyampaikan pesan kakek dan membawa orang itu ke rumah kakek tua. 

Amat disayangkannya, sekembalinya mereka ke rumah kakek tua, sang kakek tua sudah ditemukan tak bernyawa dengan secarik kertas di genggamannya. Orang itu yang kemudian mengurusi jenazah kakek sampai pemakaman.
" Saya sebagai anak tak habis pikir, bagaimana seorang ayah mewariskan sebuah rumah tinggalnya untuk orang lain," ujar lelaki setengah baya dengan nada suara penuh tanda tanya.
Mendengar itu, perempuan setengah baya itu kaget setengah mati. Jantungnya seakan-akan mau copot dari tangkainya.
" Rumah kakek diwariskan kepadaku," dirinya membatin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun