Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Biduan Berhati Malaikat

3 November 2021   07:22 Diperbarui: 3 November 2021   07:29 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin yang datang dari arah rumah-rumah beton itu menyelinap lewat celah rumah tanpa malu itu dinikmati seorang wanita muda di teras depan  rumah sembari duduk sendirian memagut waktu. Bola matanya yang indah memandang ke arah cakrawala. Sementara angin tanpa malu membelai rambut dibahunya. 

Di ujung timur, muncul bentangan cahaya purnama yang mempesona. Cahaya indah putih berkilauan dalam balutan cahaya lampu terang sebuah Kota besar yang menyihir para laron-laron untuk datang menjemput cahaya indahnya. Sinar  rembulan malam menyemburkan cahayanya dengan sangat terang. Membenderangkan alam semesta karunia Sang Maha Pencipta.

Sudah seminggu ini,  Laila seorang biduan harus menjual suara emasnya kepada para penonton jalang yang mengundangnya untuk bernyanyi di kawasan kumuh yang terkenal dengan kawasan prostitusi klas murahan. Dan sudah seminggu ini pula martabatnya sebagai wanita terendahkan oleh ula para lelaki berpikiran kotor itu. Bahkan ada pula yang mengajak kencan usai bernyanyi.

Laila baru terbangun ketika orang-orang sudah memulai aktivitasnya mencari makan. Pulang larut malam dari kegiatan menyanyi yang dilakoninya di kawasan kumuh itu membuatnya tidak dapat menikmati indahnya cahaya matahari pagi yang datang menyinari bmi. Maklum jadwal perhelatan nyanyi di kawasan itu tak mengenal waktu. Kadang usai ketika rembulan mulai terkantuk-kantuk keperaduannya.

Wanita yang berprofesi sebagai biduan itu tidak pernah menyangka sama sekali dalam otak jernihnya, kedatangannya ke ibukota harus berhadapan dengan persoalan pelik dan menorehkan airmata. Bagaimana tidak, saat datang berkunjung ke rumah temannya, dia mendapati Ibu temannya sangat membutuhkan pertolongan. Sakit yang diderita Ibu temannya membutuhkan banyak uang. Sementara temannya hanya berprofesi sbagai seorang Sales yang gajinya hanya berdasarkan jumlah penjualan.

" Mohon maaf, laila. Kedatanganmu malah ku sambut dengan keluh kesah dan penderitaan," kata Nani, temannya dengan nada sedih.
" Selagi saya bisa membantu, saya akan membantu. Sesama manusia hanya tolong menolong yang menjadi andalan kita dalam berkehidupan di dunia ini," jawab Laila.
" Aku sudah menyusahkanmu," lanjut Nani.
" Aku bahagia bisa menghibur mareka dengan suaraku. Dan mareka pun bahagia memberiku uang untuk membantu meringankan biaya tambahan berobat Ibumu," jawab laila sambil memeluk Nani.

Laila dan temannya yang bernama Nani adalah teman sepermainan saat mareka masih di Kampung. Nani lantas hijrah bersama keluarganya ke Kota. Kota ternyata bukan tempat yang istimewa bagi keluarga Nani yang hijrah hanya bermodalkan tekad dan niat yang membaja. Nani yang hanya berpendidikan SMA akhirnya harus membanting tulang membiayai kehidupan keluarganya.

Kehidupan Nani dan keluarganya makin terpuruk, ketika ayahnya dipecat sebagai pegawai pabrik. Serbuan buruh asing dari negara lain membuat Ayahnya hanya menambah pengangguran Kota yang makin ganas. Ayah Nani pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal.

Sepeninggal Ayahnya, Nani menjadi urat nadi kehidupan keluarganya. Gaji Nani sebagai Sales Promotion Girls yang tak seberapa membuat keluarga ini harus banting setir menghadapi ganasnya kehidupan rimba Kota yang tak berperikemanusian dan tak bertuan nurani. Penderitaan makin menjadi ornamen kehidupan Nani dan Ibunya sehari-hari, usai rumah mareka digusur aparat yang hobby bercitra diri di muka media massa.

Rumah yang menjadi satu-satunya peninggalan almarhum Ayahnya kini rata diganyang alat berat yang datang tanpa mata hati dan perikemanusian. Dan mulailah mareka hidup dari rumah kontrakan ke rumah kontrakan tanpa henti. Sementara kesehatan Ibu Nani diujung  masa tuanya menambah problema hidup dengan dideteksinya penyakit Ibunya yang oleh dokter diklaim sebagai penderita kanker ganas stadium tinggi.

Kehadiran laila di rumah Nani seolah memberi berkah bagi Nani dan Ibunya. Sebagai seorang biduan, Laila akhirnya rela untuk meluangkan waktunya untuk menbantu sahabat karibnya di Kampung dengan menjajakan suara emasnya di kawasan kumuh yang tak pernah dilakoninya selama ini sebagai penyanyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun