"Bapak itu ingin aku menjadikan rumahnya dan kebun itu sebagai masjid," ungkap lelaki muda itu.
 "Masjid?" ujar istrinya dengan diksi setengah bertanya.
 "Iya," jawab Migrun.
Malam makin merenta. Kehidupan mulai menyepi. Para warga mulai merebahkan diri di peraduan untuk menghilangkan kepenatan. Menemui mimpi yang indah dibalik sesatnya kehidupan yang makin mengganas ditelan era moderenisasi dan duniawi yang makin tergerus dengan dekadensi moral yang makin menyusut sebagai simbol hidup dan kehidupan.Â
Setidaknya dibalik beristirahatnya raga, terselip rasa rindui akan kehidupan yang layak untuk ditemui esok pagi, seiring datangnya mentari pagi dengan cahayanya yang indah. Di balik rumah tua, seorang lelaki renta lusuh itu masih terus berzikir dengan menggemakan ayat-ayat suci untuk religiuskan malam. Sementara malam makin merenta. Serenta tubuhnya yang mulai dimakan usia dan zaman.
Migrun akhirnya bersedia membeli rumah milik lelaki renta itu. Lelaki muda itu seakan tak percaya bisa membeli rumah Bapak tua itu. Padahal dananya hampir tak mencukupi. Hampir-hampir mustahil. Namun disaat niatnya sudah bulat dan tekadnya ingin membantu Bapak tua itu, tiba-tiba dia mendapat kabar soal kenaikan gaji dari kantornya yang membuat tabungannya tak terkuras habis untuk pembelian rumah milik Pak Tua itu.Â
Dan senja itu, wajah sumringah menghampiri lelaki tua saat Migrun datang bersama istrinya ke rumah. Bapak tua itu seolah percaya dan yakin kedatangan Migrun dan istrinya akan mewujudkan impiannya, menjadikan rumahnya sebagai masjid. Bapak tua itu menyambut kedatangan Migrun dan istrinya dengan semangat juara. Semangat kemenangan.
 "Saya percaya dengan Bapak, maka rumah dan kebun ini saya jual kepada Bapak untuk dijadikan masjid. Saya percaya dengan Bapak," ungkap lelaki tua itu sambil menyalami tangan Migrun dengan genggaman yang sangat erat sekali. Dan berkali-kali, lelaki tua lusuh itu menggenggam erat tangan Migrun sebagai tanda terima kasihnya.
"Lantas, kalau rumah ini dijual, Bapak mau tinggal dimana?" tanya Migrun.
Â
Lelaki tua itu terdiam. Hanya desis angin yang hadir seakan menjawab pertanyaan Migrun. Dan sebelum Bapak tua itu menjawab, suara bedug telah berdentang yang membuat Migrun dan istrinya dengan terburu-buru meninggalkan kediaman Bapak tua itu. Semilir angin berhembus.