Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Amarah dari Bukit

9 Oktober 2021   08:30 Diperbarui: 10 Oktober 2021   02:44 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Amarah dari Bukit

Senja itu, sekelompok camar menari-nari diatas langit. Tariannya eksotis. Sarat kegembiraan.  Pertanda senja mulai menyapa bumi. Seiiring matahari yang mulai menenggelamkan diri. Seiring terbangunnya rembulan dari mimpi panjangnya.

Seorang lelaki setengah baya itu masih belum ingin beranjak dari tempat duduknya. Mata liarnya seolah belum puas memandang areal yang dipenuhi puing-puing reruntuhan yang berada di depannya. Matanya seolah belum puas menyaksikan apa yang dilihatnya. Sebuah areal yang sangat luas terbentang. Sangat luas.  Matanya seolah tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Sangat tak percaya sama sekali.

Matanya seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Sebuah bentangan tanah yang sangat luas.  Di bentangan tanah yang luas itu matanya hanya melihat sebuah bangunan yang tersisa. Sebuah Masjid yang tak pernah menerima uluran tangannya. Tak ada bangunan lain.  Mata lelaki itu seolah-olah belum puas dengan apa yang dilihatnya. Belum puas, ketika sebuah tepukan dipundaknya menyadarkan dirinya.

" Azan magrib sudah terdengar. Ayo kita ke masjid," sapa seorang lelaki tua bernada ajakan.
Lelaki setengah baya yang biasa dipanggil Pakbos oleh warga Kampung mengikuti langkah Pak Tua  yang menuntunnya menuju Masjid.

Malam itu langit penuh bintang. Cahaya rembulan menerangi alam raya. Jagad raya bertaburan bintang dan siraman cahaya yang terang benderang. Pakbos memandang langit dari halaman barak yang kini dihuninya . Berbaur bersama warga Kampung dalam kelaraan. Tak  terdengar lagi lagu Huma Diatas Bukit  dari band cadas God Bless yang biasa dinikmatinya di halaman belakang rumahnya yang sangat luas sembari menikmati kopi dan kue bersama rekan-rekan bisnisnya. Tak ada lagi. 

Dihalaman barak, beberapa anak-anak kecil berlarian. Mereka seolah tak peduli dengan kegundahan hati Pakbos. Mereka berkejaran. Berlarian dengan riang gembira. Cahaya rembulan ikut menerangi jejak kaki-kaki bocah yang berlarian dengan keriangannya.

Airmata Pakbos menetes dari kelopak matanya. Membasahi tanah yang masih berbalut kedukaan. Ada sebuah penyesalan yang tak terperi dalam jiwanya. Dadanya bergemuruh. Disesaki rasa penyesalan berbalut dosa. Berkecamuk dalam nada harmoni penyesalan.
" Seandainya. Seandainya...," bisik Pakbos dengan suara lirih. 

Penyesalan lelaki itu dirasakan pula bintang dilangit. Cahaya rembulan di langit tiba-tiba meredup. Malam pekat. Sepekat jiwa Pakbos yang dibaluti rasa bersalah yang tak terperikan. Sebuah penyesalan yang datang terlambat.

Sebagai pengusaha ternama, Pakbos sudah lama mengintai rimba belantara yang dipenuhi pohon-pohon besar  dikawasan Bukit dekat Kampung Mereka. Bagi Pakbos isi yang ada dalam rimba di Bukit kampung itu mengandung sejuta dollar dan harta karun yang mampu menghidupi keturunannnya selama hayat masih dikandung badan. Setidaknya pohon-pohon besar yang menghuni  rimba itu mampu mengalirkan uang untuk menambah pundi-pundi keuangannya semakin gendut. Pohon-pohon penghuni rimba itu bisa dikonversi dalam bentuk uang yang bernilai besar.

Keinginannya untuk mengusai hutan rimba di kaki bukit dekat Kampung tentu saja menimbulkan pertentangan diantara penduduk Kampung.  Warga Kampung tak setuju. Mereka sangat berang sekali mendengar keinginan Pakbos.  Mereka beranggapan pohon-pohon besar di dalam rimba itu akan mampu menahan air yang datang dari Bukit dikala musim hujan.
" Kalau pohon-pohon yang ada dalam bukit itu ditebang Pakbos, maka bencana banjir akan menghantam Kampung kita," ujar seorang warga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun