Dan usai pertandingan itu, Dullah sering mendapat teror dari orang-orang yang tak dikenalnya. Dulah pun tak pernah lagi dipanggil Timnas. Apalagi semenjak sang pelatih mengundurkan diri, Dullah tak pernah lagi dipanggil dalam Pelatnas Timnas. Bahkan diklubnya sendiri, Dulah jarang dimainkan full 90 Menit. Pemain berkostum nomor punggung 10 itu lebih banyak duduk dibangku cadangan.
" Sekarang kamu baru tahukan, siapa sebenarnya penguasa sepakbola itu. Kami, bukan kalian para pemain. Tanpa kami kalian hanyalah pemain kampung tak dikenal orang dan dunia. kami yang membuat kalian terkenal dan hebat. Tapi kamu membantah dan mementingkan Tim dan nama baik bangsa. sekarang kamu terima akibatnya," ujar seseorang lewat telepon genggamnya.Â
Suara itu amat dikenalnya. Sangat familiar dengan Dullah dan kawan-kawan di Timnas. Suara yang selalu menggelegar di ruang ganti. Suara yang selalu menyuarakan nasionalisme didada para pemain. Suara yang selalu melecutkan nafas nasionalisme dalam setiap pergerakan pemain di lapangan hijau.
Dullah kaget. Suara istrinya menggagetkannya dari mimpinya. Televisi pun sudah mati. Tak ada lagi gambar pemain yang mengejar bola dilapangan. Tak ada sama sekali. Yang terlihat oleh matanya seorang penyiar televisi yang sedang membacakan berita tentang kematian prestasi olahraga di negeri ini.
" Bangun Pak. Hari sudah siang. Saatnya berangkat kerja. Nanti telat lagi. Anak-anak sudah menunggu di meja makan untuk sarapan bersama," ujar istrinya.
Dengan mata yang amat berat, Dulah bergegas menuju kamar mandi dan menyirami seluruh tubuhnya. Kesegaran melanda sekujur tubuhnya. Seiring datangnya cahaya matahari yang mulai menyapa bumi dengan cahaya terangnya. Pertanda kehidupan segera di mulai.
Toboali, 1 Oktober 2021
Salam sehat dari Kota Toboali