Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dendam Sang Pengantin

12 Juli 2021   00:11 Diperbarui: 12 Juli 2021   15:07 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang lelaki setengah baya itu tampak diliputi sebuah perasaan yang menandakan bahwa malam ini adalah gilirannya yang akan mati. Burung liar sudah seminggu ini hinggap di pohon besar yang tak jauh dari rumahnya. Aroma kematian semerbak. Dia tampaknya sadar bahwa kematian amat akrab dengan manusia. Dia lalu membuka pintu. Beberapa orang berbadan tegap menyeretnya ke dalam sebuah mobil. Tak ada perlawanan sama sekali. Tak ada suara sama sekali. Hening.

Matahari berdiri pagi ini terasa rikuh sekali. Tak ada tanda-tanda kesedihan dalam keluarga itu. Tampaknya mereka, keluarga Bapak setengah baya itu memagari kesedihannya dengan melakukan kesibukan seperti hari-hari biasanya. Istri lelaki setengah baya itu memulai kesibukannya dengan menjemur pakaian yang baru selesai dicucinya. 

Sementara anak semata wayangnya yang sudah menginjak usia remaja dan dikaruniai paras rupawan, bergegas ke sekolah dengan menggunakan seragam sekolah menengah atas. Tak terlihat tanda-tanda kesedihan diraut wajah rupawannya yang membuat semua warga, terutama kaum muda Kampung Kami tergila-gila kepadanya. 

Adalah hal yang biasa bila sesama pemuda kampung kami harus bertengkar dengan sesama mereka karena cemburu. Padahal tak semua pemuda bisa bertamu ke rumah sang gadis. Hanya mereka dari kalangan kaya dan berduit yang bisa bertamu ke rumah wanita berparas rupawan itu. 

Beberapa perempuan Kampung yang baru pulang dari mencuci pakaian di sungai diujung Kampung tampak berlari dengan rasa ketakutan yang mendera sekujur tubuhnya. Mereka dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, sembari  tak henti-hentinya menyebut kebesaran nama Allah SWT. 

" Ada apa?," tanya seorang warga dengan penuh selidik.

" Ada mayat di sungai," jawab seorang perempuan Kampung dengan langkah kaki tergopoh-gopoh.

" Mayat siapa?," selidiknya lagi. 

Tak ada sahutan. 

Dan dalam waktu hitungan menit, Pak Lurah beserta warga kampung sudah meramaikan kawasan sungai. Bak pasar malam. Keriuhan terdengar. Air sungai berubah warna. Aroma amis tercium dari air sungai. Sementara seonggok kepala manusia yang mirip seonggok batok kelapa terus mengambang mengikuti arus sungai. Beberapa kali kepala itu berbenturan dengan batu-batuan yang mengornamen sungai. Kesedihan berangsur hilang, seiring mulai menipisnya para warga yang berkerumun di sana.

Para pencerita di Kampung Kami  menarasikan penemuan kepala manusia di sungai dengan cara mereka. Mereka para warga kampung yang suka bercerita sesama mereka di warung kopi tampaknya kali ini menaruh perhatian atas kematian itu. Bukan karena tingkah laku semasa hidup, melainkan soal cara kematian yang menimpa mayat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun