Berbagai keperluan Atok Tua itu selalu dilayani lelaki muda berbaju koko hitam itu dengan ikhlas. Mulai dari mengisi air di bak mandi hingga membeli berbagai keperluan Atok Tua. Kadang saat awal bulan, Atok Tua itu mengajak lelaki muda itu ke Kota untuk mengambil uang pensiunnya di Kantor Pos.Â
Dan biasanya, usai mengambil uang pensiun, Atok Tua mengajak lelaki muda itu makan di rumah makan. Dan saat lelaki muda itu pulang ke rumahnya, Atok Tua itu biasanya tak lupa menyisipkan beberapa lembaran uang untuk lelaki muda itu sebagai bentuk terima kasihnya.Â
" Rumah yang ditempati bapak itu dibelinya usai beliau pensiun. Dan sekarang kamu yang jadi pewaris rumah itu. Kamu yang berhak atas rumah itu. Saya sebagai anaknya tak berhak atas rumah itu," ujar lelaki setengah baya itu.
Lelaki muda itu terdiam. Membisu. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.Â
Lelaki setengah baya yang rupanya anak Atok Tua kembali melanjutkan pembicaraanya.Â
" Aku bulan depan sudah pensiun. Aku mau tinggal di Kampung ini dan menghabiskan sisa umurku di kampung ini," lanjutnya.
" Bapak mau tinggal di rumah Atok Tua? Silahkan Pak. Itu rumah milik Atok Tua. Saya tak berhak melarang Bapak untuk tinggal di rumah Atok Tua," jawab Lelaki muda berbaju koko hitam itu.
" Masalahnya, dalam surat wasiat Bapak, yang berhak atas rumah itu adalah kamu," kata anak Atok Tua.
" Setahu ku, Atok Tua tidak pernah menceritakan tentang rumah itu. Tak pernah sama sekali," jawab lelaki muda berbaju koko hitam itu.
" Jadi kamu tidak keberatan kalau aku tinggal di rumah bapak,"? tanya anak Tua Tua.
" Sama sekali tidak keberatan Pak. Itu rumah bukan milik saya. Saya hanya membantu Atok Tua yang hidup seorang diri di rumah itu sebagai bentuk bakti saya kepada orang yang sudah tua. Sebagai sesama manusia, saya berkewajiban membantu sesama manusia. Saya tidak pernah berpikir untuk mendapatkan warisan atau peninggalan dari Atok Tua. Tak pernah terpikir dalam otak saya Pak," jelasnya.