Cerpen : Calon Besan
Lelaki setengah baya  itu tidak bisa menyembunyikan amarahnya ketika melihat aku datang ke rumahnya. Suaraku mengucap salam setengah tidak dibalasnya. Hanya dengan memakai kain sarung, Matkayo teman lamaku , ditemani istrinya keluar dari balik pintu kamar rumahnya yang asri. Raut wajahnya memerah penuh balutan emosi. Sahabat lama ku itu langsung menggebrak meja yang ada di hadapannya.
" Sabar, Bro. Sabar," ucapku yang memanggilnya dengan sebutan Bro.
" Aku datang ke rumahmu untuk menyampaikan amanah dari keluarga sahabat kita juga. Teman kita juga. Saudara kita juga," jelasku.
Dia diam. Mulutnya terkunci.Tak  ada suara yang keluar dari mulutnya. Beberapa saat kemudian, ia menganggukan kepala dengan sedikit terpaksa. Melihat suasana mulai mencair, istrinya lalu berjalan ke arah dapur  meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
Matkayo menatapku. Masih terlihat sisa guratan kekesalan yang menggurat di wajahnya. Ia menyalakan rokok di tangan. Kepulan asap keluar, meliuk dari bibirnya. Dari belakang istrinya datang membawa dua gelas kopi. Dan istrinya kembali meninggalkan kami berdua.
" Dasar anak tak tahu diuntung. Bisanya cuma memalukan orang tua," makinya.
Aku memilih diam. Dan ketika Matkayo mengeluarkan kata-kata kasar bahkan teramat vulgar, aku memasang kuping tebal. Seolah-olah tak mendengar apa yang diomongkannya. Tekadku hanya satu. Ingin membantu Wiwik, agar diterimanya sebagai menantu. Itu saja. Tak ada yang lain.
" Aku datang ke rumahmu malam ini hanya ingin menyampaikan pesan anakmu bahwa dia minta izin untuk menikah dengan Wiwik. Aku harap sebagai orang tua dan panutan warga di kampung kita ini, engkau mengizinkan anakmu menikah dengan Wiwik," ungkapku.
" Dasar anak durhaka," katanya. Sementara mulutnya terus menghisap rokok dan menghembuskan asapnya panjang-panjang.Â
" Kamu tahu kan bahwa dalam memilih istri itu, bukan hanya soal kecantikan semata. Tapi perlu juga melihat asal usul keluarganya," lanjutnya.