Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pengikut Setan

4 Juni 2021   21:24 Diperbarui: 4 Juni 2021   21:37 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap malam jumat, bau kemenyan dan aroma kembang tujuh warna warni selalu datang dari rumah Markudut. Aroma harum hasil racikan kemenyan dari dupa mengapung ke udara bebas. Aromanya terbawa hembusan angin malam. Menyelinap masuk lewat celah ke dalam rumah warga.

Pagi itu awan berarak. iringi langkah manusia dibumi yang mulai beraktivitas sesuai dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang ke Kantor. Ada yang ke sawah. Ada pula yang ke pasar. Demikianlah sirkulasi kehidupan di dunia.

Warga di areal persawahan kaget setengah mati. Teriakkan mareka mengejutkan seluruh penghuni Kampung.  Ada sekujur tubuh manusia di saluran air irigasi sawah. Wajahnya penuh luka. Demikian pula di sejumlah tubuh lainnya. Penuh dengan luka.

Markudut kaget. Bahkan jantungnya mau copot ketika Pak RT menyampaikan berita duka tentang kematian istrinya di sawah. Tanpa menghiraukan narasi Pak RT lagi, Markudut dengan parang ditangan langsung menuju areal persawahan. Hatinya amat panas. Mendidih. lelaki itu ingin melihat wajah seseorang yang diyakininya telah membunuh istrinya.

Sampai di areal persawahan yang dipenuhi lautan manusia, Markudut langsung pingsan. Parang yang mengkilat ditangannya langsung terlepas saat melihat mayat istrinya.

Markudut tersadar ketika mayat istrinya telah usai di makamkan. Hanya airmata penyesalan dari pipinya yang mengalir di makam istrinya. Airmatanya  membasahi makam istrinya. Menggenangi makam istrinya. Airmata penuh dendam yang sangat membara dari seorang suami.

Hingga hari ketujuh belum ada juga tanda-tanda tentang siapa pembunuh istrinya. Padahal beberapa orang warga telah dipanggil sebagai saksi oleh pihak yang berwenang. Namun aparat hukum belum menetapkan pembunuh istrinya.

"Kami sudah mendapatkan titik terang tentang kasus pembunuhan istri saudara. Dengan bukti-bukti yang kami miliki, secepatnya kami akan segera tangkap pelakunya," jelas Kepala Keamanan Kota kepada Markudut. 

lelaki itu hanya terdiam. Membisu. Mulutnya terkunci sehingga tak ada desis suara yang keluar. Markudut menahan amarah yang luarbiasa. kalau bukan di kantor keamanan, mungkin meja yang ada di depannya sudah digebuknya. Toh penjelasan dari kepala Keamanan Kota sering bahkan teramat sering didengar di televisi di rumahnya, bahkan dari radio yang di dengarnya di dangau sawahnya.

Markudut pulang dengan membawa sejuta kekecewaan yang amat mendalam. Sepanjang perjalanan hanya frasa dendam dan dendam yang ada dalam jiwanya. Mengaliri darah mudanya. Membakar sekujur tubuh energiknya hingga ke otak cerdasnya. 

" Nanti kamu rasakan pembalasanku yang sangat keji," desisnya. " Bahkan pembalasan itu akan membuat orang Kampung tak berani macam-macam dengan aku,' gumamnya lagi.

Sebuah info didapat Markudut dari seorang temannya bahwa di Kampung Seberang Kampung mareka ada seorang yang sangat ahli, yang akrab diapnggil Mbah jangggut mampu mendatangkan arwah orang yang sudah meninggal.
"Mbah Janggut ini bisa memberikan solusi kepadamu, siapa pembunuh istrimu yang sebenarnya," kata seorang temannya yang ikut merasakan keperihatinan terhadap Markudut.
"Caranya," tanya Markudut dengan jiwa sejuta gelisah.
Sang teman mendekatkan mulutnya dengan kuping markudut. Komat kamit mulutnya. Buka tutup. Membisikan sesuatu. Wajah Markudut berbinar-binar. Ada rasa kebahagian yang terpancar dari wajahnya. kesumringahan membalut mukanya. Senyumnya mengembang.

Bau kemenyan yang dibakar seorang lelaki tua dari dupa kunonya di belakang rumah Markudut sudah tercium hidung. Sejumlah kata-kata mantra terus didengungkan lelaki tua berbaju hitam itu dengan suara penuh wibawa. Mantra itu amat asing bagi Markudut. Tak pernah didengarnya di pengajian atau dalam ceramah-ceramah agama yang sering diikutinya.  Tak pernah sama sekali. Sangat asing ditelinganya .

" Ah, terserahlah. Yang penting pembunuh istriku terungkap," pikirnya.

Aroma kemenyan yang terbakar sangat memekatkan hidung. Menyesakkan rongga-rongga hidung. Bagi yang tak kuat tentunya segumpal aliran anyir keluar dari hidung. Aroma kemenyan makin memekat. Asapnya mengitari halaman belakang rumah Markudut yang asri. Disinilah dia dan istrinya biasanya menghabiskan waktu sengganggnya berdua dengan bercerita dan berbagai kasih sayang sebelum akhirnya mereka menuntaskan di ranjang pengantin mereka.

Sekilas muncul wajah ayu sang istrinya. Matanya sembab. Wajahnya penuh kedukaan. Bajunya penuh darah. Sekilas menghilang dan berganti wajah seorang lelaki. Mantra dari lelaki tua itu makin kencang sekencang hati Markudut yang ingin segera menebas kepala lelaki yang muncul sekilas bersama istrinya.
"Tak salah lagi. Dialah orangnya. Aku harus membalas dendam," katanya dengan berdesis.

 " Darah harus dibalas darah. Nyawa harus dibalas nyawa," desis Markudut dengan jiwa yang berbalut  penuh emosi.

lelaki tua itu tiba-tiba membalikan badannya. Wajahnya menatap Markudut dengan tajam. Tak ada kata. Tak ada sama sekali. Tubuh Markudut roboh.

"Selesaikan apa yang harus diselesaikan. Dan bereskan apa yang harus dibereskan dalam rumah ini," perintahnya. Sekonyong-konyong muncul sejumlah orang yang bertindak sesuai dengan perintah lelaki tua itu. Termasuk menggotong tubuh Markudut yang telah membeku.

Warga Kampung digemparkan dengan berita penemuan mayat. Kali ini seorang warga Kampung yang hendak berbelanja ke pasar menemukan mayat Markudut di pinggir jalan raya Kampung.

Kesunyian menerpa pemakaman umum Kampung usai mayat Markudut yang di kuburkan di samping makam istrinya. Tak ada lagi dendam yang membara. Tak ada lagi. Satu dua daun kamboja yang menjadi penghias sekaligus peneduh pemakaman umum itu gugur. Jatuh dimakam Markudut. 

Toboali, Jumat barokah, 4 Juni 2021

Salam sehat dari Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun