Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Perempuan Kiriman Tuhan untuk Matkudel

12 Mei 2021   02:24 Diperbarui: 12 Mei 2021   02:33 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Facebook Jakiri Wahyuni

Cerpen : Perempuan Kiriman Tuhan untuk Matkudel

Lelaki muda itu terus melangkah dalam cahaya malam yang mulai membangkrut. Sementara di langit awan tampak menghitam . Sebuah pertanda akan hujan. Bintang gemintang pun enggan hadir hiasi malam. Langkah lelaki itu makin kencang. Dan tiba-tiba byurr. Hujan datang. Gemerciknya warnai tanah. Jalanan tampak basah kuyup. Tak terkecuali lelaki muda itu. Seluruh badannya dibanjiri air hujan. Tapi dia terus melangkah dan melangkah susuri jalanan. 

Lelaki muda itu terbangun saat mentari sedang bersinar dengan garangnya. Sinarnya amat panas. Lelaki itu memandang ke semua sisi. Dan dalam hatinya muncrat sejuta pertanyaan. Dimanakah aku sekarang berada? Seingatnya semalam dia masih gagah berjalan melawan hujan yang deras. Tapi? Ketukan pintu menyadarkannya.

Sesosok wajah  perempuan muncul dari balik pintu. Senyumnya amat menawan.
" Sudah bangun rupanya. Saya buatkan kopi, ya?" sapa seorang perempuan dengan nada bertanya.
" Maaf. Mbak siapa? Aku ada dimana?" tanya lelaki itu.
" Oh, ya. Semalam Mas terkapar di jalanan. Bersama beberapa warga saya angkat Mas ke rumah. Daripada Mas tidur dijalanan," jawab perempuan itu.
Lelaki muda itu cuma terdiam. Tak menjawab.Hanya membisu. Bibirnya terkunci rapat. Suaranya tersekat ditenggorokannya yang masih terasa sakit.

Sudah tiga malam lelaki muda yang bernama Matkudel tinggal di rumah perempuan itu. Dan sudah tiga malam pula dirinya menjadi tanggungan perempuan itu. Makan, minum dan rokoknya menjadi tanggungan perempuan itu. Lelaki muda  itu tampaknya malu. Sebagai lelaki dia malu harus hidup dari seorang perempuan yang tak dikenalnya. Sosok yang sangat asing baginya. Apalagi dia teringat dengan nasehat Ibunya sewaktu dirinya masih kecil.
" Lelaki itu harus jantan. Jangan hidup diketiak istri. Lihat ayahmu. Pekerja keras," nasehat Ibunya.

Dan sudah tiga malam pula selama tinggal di rumah perempuan itu, dirinya selalu melihat perempuan itu pergi saat malam mulai merentah. Dan pulangnya pun saat matahari mulai terbangun. Dandanannya pun amat seronok. Seperti perempuan malam yang sering ditemuinya dulu ketika dirinya terseret arus deras kehidupan malam yang membuatnya menjadi kaum fakir.

Dan selama tiga malam pula dirinya hanya bertemu perempuan itu saat senja mulai menyapa penghuni bumi. Mareka berdua puntak pernah bertegur sapa. Hanya saling tersenyum sebagai tanda basa-basi. Sementara saat perempuan itu akan meninggalkan rumahnya, dimeja makan sudah tersaji makanan. 

Dan sebagai lelaki dia sangat malu. Martabat dirinya sebagai lelaki amat rendah. Tapi apa boleh buat. Dirinya tak mampu berbat apa-apa kecuali menikmati apa yang tersaji dalam lintasan hidup. Melawan? Percuma. Dirinya tak memeliki apapun. Harta satu-satunya adalah baju yang kini melekat dibadanya saja. Sudah bagus perempuan itu mau menampungnya. kalau tidak bisa-bisa dia menjadi penghuni kolong jembatan. Bahkan menjadi incaran para Satpol PP untuk diuber bak binatang di rimba yang ganas.

Malam itu rembulan bersinar dengan terang benderang. Cahaya indahnya menerangi bumi. Matkudel pun mengikuti jejak langkah perempuan itu. Rasa penasaran yang ada dalam otak kanannya membuat dia mengikuti perempuan itu. Setidaknya dia ingin menjawab rasa penasarannya. Dan Matkudel amat kaget. Jantungnya hampir copot. Perempuan itu masuk dalam sebuah discotik. Sebuah tempat yang dulu sering dikunjunginya saat kantongnya masih tebal.

Senja itu menjelang magrib, saat sgerombolan camar sedang menari-nari di langit yang biru, Matkudel melihat perempuan itu menatap senja dari balik jendela rumahnya. Tampaknya perempuan itu asyik menikmati senja yang sedang bercengkrama dengan warna-warni pelangi di ujung langit. Sebuah karya yang maha agung dari Sang Pencipta.
" Tampaknya senja memiliki arti khusus bagi Mbak," sapa Matkudel. Perempuan itu kaget dengan sapaan Matkudel. Namun seraut senyuman ditebarkannya dari wajah cantiknya. Seolah-olah ingin menutupi keresahan hatinya.
" Eh, Mas. Sudah baikkan badannya, Mas," ujar perempuan itu.
" Alhamdulillah. Terima kasih atas bantanmu Mbak. Kalau nggak ada pertolongan Mbak, mungkin saya sudah berhadapan dengan ulat-ulat tanah dan menjadi mayat tanpa identitas yang bisa dijadikan kelinci percobaan para ahli," sahut Matkudel.
" Sebagai manusia kita harus saling mengasihi dan tolong menolong. Saya buatkan kopi, ya," ujar perempuan itu.

Tekad Matkudel untuk menyunting perempuan itu tampaknya sudah bulat. Perempuan itu adalah perempuan yang didambakannya. Bagaimana tidak, ditengah keresahan jiwanya, dia mampu menjadi pahlawan bagi orang lain meskipun sejuta derita tertanam dalam hidupnya. Padahal Matkudel tahu bagaimana penderitaan jiwa perempuan itu soal bayaran SPP anaknya di Desa yang sudah tiga bulan belum dilunasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun