Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Teka-teki Kematian Matjago

30 April 2021   03:35 Diperbarui: 30 April 2021   03:59 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matjago terkulai di ranjang tuanya. Tubuh gagahnya menyandar di bantal. Dia memperlihatkan senyumnya. Ditebarkannya kepada orang-orang yang menjenguknya. Tampaknya dia sudah paham tentang dirinya. Izrail sudah masuk ke rumahnya. Sementara dalam beberapa malam ini, Burung liar hinggap di pohon besar samping rumahnya. Bau kematian semerbak. 

" Saya mohon maaf maaf atas segala kesalahan yang saya perbuat selama ini," ujarnya lemah. Para warga tediam mendengar suara itu. Seseorang membisikan sesuatu ke telinganya. Matjago menggangguk. Mulutnya komat kamit. 

Kematian tokoh berpengaruh di kampung Kami, membuat para warga kini mulai waspada. Bagaimana tidak waspada, Matjago yang dikenal sebagai warga pemberani, harus meregang nyawa usai pulang dari kebunnya. Semua paramedis menyatakan tak ada riwayat penyakit yang ada dalam tubuhnya yang mengharuskan dia harus pergi secepat itu menghadap Sang Maha pencipta. 

Kematian Matjago menyisahkan kesedihan. Bahkan kesedihan berubah menjadi rasa kecemasan di hati para warga kampung. Saat malam tiba, pintu-pintu rumah warga terkunci dengan sangat rapat. Tak ada lagi warga yang berlalu lalang di jalanan kampung. Hanya kesunyian yang mendiorama kampung.  Suara lengkingan gitar dan teriakan ala rocker yang disenandungkan para pemuda Kampung tak terdengar lagi. Entah menghilang kemana mereka dan suara mereka. 

Kematiannya menjadi geger. Perilaku narasi yang dikisahkan para pembual di kampung Kami membuat suasana Kampung makin mencekam. 

' Bayangkan saja, Matjago yang kita kenal sangat berani dan tidak mengenal rasa takut harus menghadap Sang Khalik dengan cepatnya," kisah seorang pembual di kampung Kami.

" Memangnya Matjago matinya karena guna-guna?," tanya seorang warga kampung.

" Huss...Tutup mulutmu yang tak sopan itu. Jangan bicara seenak perutmu yang kosong itu.  Apa engkau mau menjadi giliran berikutnya," jawab seorang warga. Mendengar jawaban itu,  warga tadi wajahnya mendadak  seperti kain kafan.

Beberapa warga kampung, akhirnya menanyakan kepada Pak Ustad usai mereka melaksanakan sholat Ashar berjemaah di masjid. 

 " Allah yang memberi penyakit. Dia pula yang memberi obat. Kita tak perlu berprasangka buruk. Kita tak perlu menyebar isu-isu." ucap Pak Ustad.

" Tapi warga kampung percaya bahwa Matjago mati karena kena santet," kata seorang jemaah.

" Kita jangan termakan isu-isu yang memecahbelah antara sesama kita. Takdir itu ada ditangan Allah. Bukan ditangan manusia," jelas Pak Ustad menenangkan warga kampung.  

Jauh sebelum kematian Matjago, lelaki pemberani itu memang sempat bersitegang dengan Pak Kades di kantornya. Dihadapan para pegawai kantor Desa dan beberapa para warga yang berurusan dengan Kantor Desa,mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ke dua tokoh kampung itu saling beradu mulut. Pertengkaran mereka laksana petir yang menggelegar di siang hari. Meriuhkan siang yang terik itu.

" Wahai Kades jalang. Kuingatkan kepadamu. Sekali lagi engkau menggoda istriku, tunggu tanggal kematianmu," teriak Matjago. 

" Hey...Lelaki pengganguran. Kau lihat saja, Aku atau kamu yang mati duluan," jawab Pak Kades dengan nada suara garang sembari meludah.

Cahaya purnama menerangi malam. Beberapa orang berjalan beriringan. Langkah kaki  mereka seperti tergesa-gesa. Langkah kai mereka yang tergesa-gesa itu menuju sebuah rumah di ujung Kampung. Dan di belakang rumah, di bawah sebuah pohon besar, seorang lelaki telah menunggu. Wajahnya menampakan kegalauan. Dan saat beberapa warga itu baru saja mendekatinya, suaranya langsung menyemprot secara tiba-tiba. langsung menghantam jantung para lelaki yang datang itu.

" Kalian ini memang bak laskar tak berguna. Tak ada untungnya aku memelihara kalian. Padahal apa yang kalian pinta selalu ku kabulkan," semprotnya. Para lelaki itu terdiam. Membisu. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Hanya deraian dedaunan yang berbunyi mengikuti irama angin.

" Dan aku tak mau menanggung resikonya, kalau misi berikut ini gagal," sambungnya lagi.

' Tapi Pak Kades," Suara itu memenggal suara lelaki yang diapnggilnya pak Kades.

" Sekali lagi , kamu menyebut nama itu, maka kamu tidak akan pernah melihat matahari terbit besok pagi," ucap  lelaki itu. Para lelaki itu pun membubarkan diri. Sementara cahaya purnama malam tersenyum menyambut kehadiran gerbang malam ramadan yang amat dirindui seantero manusia di bumi ini.. 

Toboali, jumat barokah, hari ke-18 Ramadan, 30 April 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

Salam ramadan dan salam sahur bagi pembaca dan Kompasianer yang menjalankan Ibadah Puasa 1442 H. 

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun