" Sekarang Matasir dimana," tanya seorang nelayan.
" Ke Kota," jawab seorang nelayan teman Matasir, suami perempuan muda itu.
Gelegar petir menyambar. Matasir meninggalkan rumah dengan langkah kaki yang tergesa-gesa. Hujan makin deras. Sederas langkah kaki Matasir meninggalkan rumahnya. Â lelaki itu menembus hujan.
" Apa maksud Pak Juragan  memberimu uang setiap harinya?," tanya Matasir kepada istrinya.
" Dia memberi uang itu untuk sekedar jajan anak kita, Pak. Bukan untuk aku. Bukan untuk aku," jawab perempuan muda itu.
" Dia memberi uang itu ada tujuannya. Ada maksudnya. Dia itu lelaki. lekaki. Bukan perempuan. Ingat itu," ujar Matasir. Dia memandangi wajah perempuan muda itu dengan wajah garang. Â
Matasir sungguh kecewa kepada perempuan muda itu. Sungguh kecewa dia dengan istrinya. Disaat dirinya roboh dan belum mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan keahliannya, dia mendengar suara bergemuruh dari para tetangganya menyebutnya sebagai suami yang tak bertanggungjawab.
" Sebagai suami Matasir itu adalah suami yang tak bertanggungjawab. Kerjaannya cuma duduk di rumah sepanjang hari," ujar seorang warga.
" Ya, dia lelaki yang beruntung. Hidupnya enak. Bagaikan raja. Makanan dihidangkan. Kopi disediakan," sambung warag yang lain.
" Istrinya pontang-panting mencari duit. Untung ada Pak Juragan yang membantu istrinya," kata seorang warga.Â
Suara lantang para warga itu memasuki  gendang telinga Matasir dengan kencangnya.Â