Cerpen : Ada Secercah Cahaya Kesucian Ramadan
Mata Matgagah memandang hamparan sawah yang membentang luas yang ada di depannya. Sementara segerombolan burung-burung liar terbang dan menyambar beberapa batang padi yang mulai menguning. Matgagah tersenyum melihat aksi para gerombolan burung-burung liar itu.
" Kamu kok tersenyum melihat batang padimu dimakan burung-burung itu," tanya seorang temannya.
" Burung-burung itu mencuri tidak banyak. Hanya untuk menyumpal perur mereka. Setelah itu mereka terbang lagi. Besok baru kembali lagi setelah perut mereka lapar," jawab Matgagah. temannya terdiam. Seolah membenarkan ucapan Matgagah.
" Kalau yang kita lihat di tipi dan baca dikoran-koran itu beda dengan burung-burung itu. Mereka memang memperkaya diri mereka. Jabatan tinggi. kekuasaan ada. Masih juga mencurui uang kita, uang rakyat jelata. bahkan uang masjid pun diembat mereka," sambung Matgagah. Temannya hanya menelan ludah mendengar ungkapan hati Matgagah.
Hari mulai meninggi. Cahaya garangnya berjalan diatas kepala. Matgagah masih berada di saung sawahnya. Menatap hamparan sawahnya. Batang-batang padi mulai menguning. Tanda bahwa panen segera tiba. Ya, panen segera tiba.
" Terkadang aku bosan menjadi petani. Bosan. Tapi kalau aku tak bertani, aku mau kerja apa? Istriku mau makan apa? Aku tak punya kepandaian lain," ujar Matgagah setengah bertanya. Temannya menatap Matgagah dengan tatapan sorot mata yang tajam. Ada keheranan dalam tatapan matanya. Tak biasanya Matgagah berkeluh kesah seperti ini.
" Memangnya kamu mau pindah profesi, ya," tanya temannya.
" " Kalau harga  padi dan beras masih dikuasi para cukong berperut gendut itu, apa kita sebagai petani sejahterah? Malah hutang makain menumpuk," keluh Matgagah. Temannya terdiam. membenarkan apa yang dinarasikan Matgagah. Dikejauhan, segerombolan burung terbang meliuk menyapa angin yang melambai. Senja mulai menyapa.
Usai sholat magrib berjemaah di masjid Kampung, Matgagah tak langsung pulang ke rumah. Langkah kakinya mengarahkan jejaknya ke sebuah pos ronda yang tak jauh dari rumahnya. Di sana biasanya berkumpul berbagai kalangan warga kampung yang mengisi waktunya bermain kartu sebagai penghantar waktu menuju peraduan. Kehangatan selalu tercipta di pos ronda itu pada saat matahari cerah atau hujan tiba. Kebahagian selalu tercipta di sana. Di relung hati para warga kampung yang datang ke sana.
" Negeri ini sudah tak jelas. Tak jelas sama sekali. Aturan dibuat semaunya untuk kepentingan kelompok mereka," ujar salah seorang dari warga.