Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ada Secercah Cahaya Kesucian Ramadan

12 April 2021   13:12 Diperbarui: 12 April 2021   13:28 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Ada Secercah Cahaya Kesucian Ramadan

Mata Matgagah memandang hamparan sawah yang membentang luas yang ada di depannya. Sementara segerombolan burung-burung liar terbang dan menyambar beberapa batang padi yang mulai menguning. Matgagah tersenyum melihat aksi para gerombolan burung-burung liar itu.

" Kamu kok tersenyum melihat batang padimu dimakan burung-burung itu," tanya seorang temannya.

" Burung-burung itu mencuri tidak banyak. Hanya untuk menyumpal perur mereka. Setelah itu mereka terbang lagi. Besok baru kembali lagi setelah perut mereka lapar," jawab Matgagah. temannya terdiam. Seolah membenarkan ucapan Matgagah.

" Kalau yang kita lihat di tipi dan baca dikoran-koran itu beda dengan burung-burung itu. Mereka memang memperkaya diri mereka. Jabatan tinggi. kekuasaan ada. Masih juga mencurui uang kita, uang rakyat jelata. bahkan uang masjid pun diembat mereka," sambung Matgagah. Temannya hanya menelan ludah mendengar ungkapan hati Matgagah.

Hari mulai meninggi. Cahaya garangnya berjalan diatas kepala. Matgagah masih berada di saung sawahnya. Menatap hamparan sawahnya. Batang-batang padi mulai menguning. Tanda bahwa panen segera tiba. Ya, panen segera tiba.

" Terkadang aku bosan menjadi petani. Bosan. Tapi kalau aku tak bertani, aku mau kerja apa? Istriku mau makan apa? Aku tak punya kepandaian lain," ujar Matgagah setengah bertanya. Temannya menatap Matgagah dengan tatapan sorot mata yang tajam. Ada keheranan dalam tatapan matanya. Tak biasanya Matgagah berkeluh kesah seperti ini.

" Memangnya kamu mau pindah profesi, ya," tanya temannya.

" " Kalau harga  padi dan beras masih dikuasi para cukong berperut gendut itu, apa kita sebagai petani sejahterah? Malah hutang makain menumpuk," keluh Matgagah. Temannya terdiam. membenarkan apa yang dinarasikan Matgagah. Dikejauhan, segerombolan burung terbang meliuk menyapa angin yang melambai. Senja mulai menyapa.

Usai sholat magrib berjemaah di masjid Kampung, Matgagah tak langsung pulang ke rumah. Langkah kakinya mengarahkan jejaknya ke sebuah pos ronda yang tak jauh dari rumahnya. Di sana biasanya berkumpul berbagai kalangan warga kampung yang mengisi waktunya bermain kartu sebagai penghantar waktu menuju peraduan. Kehangatan selalu tercipta di pos ronda itu pada saat matahari cerah atau hujan tiba. Kebahagian selalu tercipta di sana. Di relung hati para warga kampung yang datang ke sana.

" Negeri ini sudah tak jelas. Tak jelas sama sekali. Aturan dibuat semaunya untuk kepentingan kelompok mereka," ujar salah seorang dari warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun