Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kolumnis

21 Maret 2021   20:25 Diperbarui: 21 Maret 2021   20:53 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen: Kolumnis

Dalam minggu-minggu ini kepala Pak De terasa berat. Bahkan terasa sangat berat sekali. Beban yang sedemikian berat membuat mata Pak De tak bisa dipejamkan. Berulang kali matanya diusahakan terpejam, tapi tak bisa sama sekali. Sesekali tarikan nafasnya amat panjang. Pak De bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Tujuannya teras belakang rumahnya. Siapa tahu dengan menatap halaman belakang rumahnya yang dipenuhi pepehonan rindang dan aneka tanaman khas lokal, beban pikirannya jadi plong. 

Tiba-tiba suara petir menggelegar. Disusul derai hujan yang cukup deras yang disertai angin kencang. Malam makin dingin. Bergegas Pak De kembali ke pembaringannya.

Kedatangan beberapa orang yang memakai jas dan dasi ke rumah Pak De kemarin pagi, membuat Pak De terlihat berubah sikap. Penampilan perlente ternyata tidak koheren dengan sikap tutur kata dan budi pekerti. Sikap tenang Pak De selama ini tiba-tiba berubah 180 derajat.

" Kami harap bapak  tidak bersikap kritis terhadap politisi kami di Parlemen," kata mereka. Pak De diam seribu bahasa. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Segepok uang dalam amplop coklat mereka keluarkan dari tas besar. Pak De menolak dengan sangat santun.

" Saya belum membutuhkan uang," jawab Pak de dengan nada suara santun.

" Bapak jangan alim ya. Kami tahu Bapak sedang butuh dana," ungkap salah seorang dari mereka. Pak De terdiam. Dia teringat denagn istrinya yang meminta dibelikan baju dan sepatu untuk acara kondangan pernikahan temannya di kampung. Sebagai kolomnis, pendapatan pak de hanya berasal dari honorium tulisan yang diberikan koran.  Hasilnya tentu tak menentu. Tergantung dari jumlah tulisan yang dikirimnya ke koran. Dan kalau dimuat maka ada honorium untuknya menyambung hidup bersama istrinya. 

" Bapak jangan sok moralis ya," maki yang lain. Pak De kembali diam. Hujanan narasi berbungkus diksi makian dan hujatn terus bergemuruh di telinga Pak De dari mereka. Pak De hanya menunduk dan berusaha tetap tenang hingga mereka meninggalkan rumah Pak De.

Pak De menuju ruang baca sekaligus ruang kerjanya di samping kamar tidurnya. Di ruangan ini, dia bisa menghabiskan waktu berhari-hari. Bahkan kadang tidur pun di ruangan ini. Di ruangan ini berbagai karya lahir. Sebagai kolomnis disalah satu koran ternama, karya Pak De amat fenomenal. Tulisannya tajam. Analisa garang. Tak heran bila banyak kelompok tertentu yang tak suka dengan karyanya. Pak De memandangi jejeren rak-rak yang berisikan buku.

" Kita hidup dizaman moderen dan serba kompetitif, dimana kebutuhan hidup menjadi sangat mahal untuk tolak ukur kita," kata seorang temannya saat berkunjung ke rumah Pak De.

" Maksudmu," tanya Pak De dengan nada tak mengerti.

" Bung pasti mengerti lah. Berapa sih honor sebuah tulisan di koran? Apa cukup untuk kebutuhan hidup kita sebulan," ujarnya dengan nada setengah bertanya. Pak De tersentak. Matanya menatap tajam lawan bicaranya. Ingin sekali dia menumpahkan serapah kepada temannya. Pak de berusaha tenang. Bicaranya santun.

" Sebuah karya tak dapat dinilai dengan uang semata, Bung. Ada kepuasan tertentu yang kita dapatkan ketika karya kita dibaca banyak orang dan mencerahkan daya hidup mereka yang kini merosot," kata Pak de. Temannya hanya menelan ludah. Hatinya terpukul dengan jawaban Pak De.

Ingatan Pak de menerabas ke waktu beberapa hari silam. di Kantor parlemen, sejumlah orang berseliweran. Mereka berkelompok dan datang berduyun-duyun. Mereka menerikan yel-yel. Menyerukan slogan dengan suara yang amat lantang. Ada aksi damai di sana. Naluri jurnalisnya muncul. Dia membaur bersama para orang-orang itu dan berusaha mendapat informasi dari kegiatan ini. Hingga matahari berada tepat diatas kepala, pimpinan aksi damai terus membakar semangat para anggotanya dengan menerikan yel-yel.

" Wahai politisi, jangan jual hutan kami dengan uang pelicin dari cukong," teriaknya berulang-ulang yang disambut koor para anggotanya.

" Jangan jual suara kami di tps dengan sangat murahnya,' teriaknya lagi. 

Pak De menggelengkan kepalanya menyaksikan aksi itu. Melintas di benaknya untuk menulis sebuah tulisan di kolom koran. Kelompok egois membiarkan hutan dan membabat lingkungan  untuk kepentingan kelompoknya dan dirinya sendiri. Hati nurani Pak De memaksanya untuk segera  pulang. Ingin segera menumpahkan kekesalannya bahkan kemarahannya lewat tulisan.

Toboali, minggu malam, 21 Meret 2021

Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun