" Bung pasti mengerti lah. Berapa sih honor sebuah tulisan di koran? Apa cukup untuk kebutuhan hidup kita sebulan," ujarnya dengan nada setengah bertanya. Pak De tersentak. Matanya menatap tajam lawan bicaranya. Ingin sekali dia menumpahkan serapah kepada temannya. Pak de berusaha tenang. Bicaranya santun.
" Sebuah karya tak dapat dinilai dengan uang semata, Bung. Ada kepuasan tertentu yang kita dapatkan ketika karya kita dibaca banyak orang dan mencerahkan daya hidup mereka yang kini merosot," kata Pak de. Temannya hanya menelan ludah. Hatinya terpukul dengan jawaban Pak De.
Ingatan Pak de menerabas ke waktu beberapa hari silam. di Kantor parlemen, sejumlah orang berseliweran. Mereka berkelompok dan datang berduyun-duyun. Mereka menerikan yel-yel. Menyerukan slogan dengan suara yang amat lantang. Ada aksi damai di sana. Naluri jurnalisnya muncul. Dia membaur bersama para orang-orang itu dan berusaha mendapat informasi dari kegiatan ini. Hingga matahari berada tepat diatas kepala, pimpinan aksi damai terus membakar semangat para anggotanya dengan menerikan yel-yel.
" Wahai politisi, jangan jual hutan kami dengan uang pelicin dari cukong," teriaknya berulang-ulang yang disambut koor para anggotanya.
" Jangan jual suara kami di tps dengan sangat murahnya,' teriaknya lagi.Â
Pak De menggelengkan kepalanya menyaksikan aksi itu. Melintas di benaknya untuk menulis sebuah tulisan di kolom koran. Kelompok egois membiarkan hutan dan membabat lingkungan  untuk kepentingan kelompoknya dan dirinya sendiri. Hati nurani Pak De memaksanya untuk segera  pulang. Ingin segera menumpahkan kekesalannya bahkan kemarahannya lewat tulisan.
Toboali, minggu malam, 21 Meret 2021
Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan