" Ya," jawabnya cepat.
" Aku tak menyangka sama sekali, sebagai seorang pejabat publik aku gagal menjalankan amanah rakyat yang telah menitipkan suaranya kepada ku. Aku ingin mundur,Bro. Aku sudah bertekad ingin mundur dari jabatan itu," lanjutnya.
" Mundur?," tanya ku lagi.
" Ya. Buat apa aku memegang amanah ini kalau aku tak mampu menjalankan amanah ini. Daripada jadi beban. Daripada nantinya jadi dosa di akherat nanti," sambungnya.
Aku terdiam. Kubiarkan ia melepaskan beban yang menggayut di dadanya. Kubiarkan dia sejenak  lega dan terbebas dari semua nestapa yang menghimpitnya. Kepadaku hampir semua persoalannya pasti dikisahkannya. Demikian juga aku. Kami adalah dua sahabat karib sejak kecil. Tak ada yang kami tutup-tutupi.
Kuhirup kopi  kesukaanku yang baru saja disajikannya. Tiba-tiba aku merasakan kopi yang baru saja diantar pembantunya terasa sangat pahitnya. Angin sore yang semilir membelai wajahku. Senja mulai turun. Magrib akan segera tiba. Dan aku pun pamit pulang.
" Doa akan aku ya, Bro biar aku tepat dalam mengambil keputusan ini," pintanya dengan nada suara penuh harap.
" Sebagai sahabat, pasti aku mendoakanmu, Bro. Semoga keputusanmu tepat. Dan semoga keputusanmu untuk mundur dari kursi Wakil Bupati sungguh-sungguh membahagiakanmu. Salam buat istri dan anakmu. Dan jangan lupa kalau ke Kota, mampir ke rumah ku,"ujarku.
Ku jabat tangannya. Aku pun segera meninggalkan rumahnya. Dari kejauhan terdengar suara azan magrib. Aku bergegas menuju ke masjid kampung.
Toboali, senin pagi, 8 Maret 2021
Salam dari Kota toboali, Bangka Selatan