Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ulah Tuan dan Nona

9 Februari 2021   20:54 Diperbarui: 9 Februari 2021   21:10 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Ulah Tuan dan Nona

Asap cerutu dari  tuan-tuan menebar aroma wewangian. Menyebar hingga ke ruang taman kekuasaan dibawa angin surga. Aroma yang ditebarkan cerutu menyusup ke dalam rongga para penghuni taman. Mereka meringkih. Suara ringkihannya amat kencang. Namun, suara ringkihan itu tak mampu hentikan para Tuan-tuan yang sedang berdiskusi di meja besar di ruang besar yang bertahta dari mandat suara rakyat, yang kadang terbeli dengan sangat murahnya.

Sementara, aroma kegenitan menebar dari para Nona-nona yang menarikan tarian jiwa. Tarian mereka menebarkan aroma keliaran jiwa. Tarian mereka membangkitkan ragawi. Aroma parfum pun mereka pun menebar hingga menusuk hidung. membangkitkan jiwa-jiwa yang jalang. Suara kebahagian keluar dari mulut mereka. Kebahagian terpancar dari jiwa-jiwa mereka.

Di sebuah lapangan kampung, anak-anak berlarian mengejar impian tentang masa depan bersama rerumputan yang mulai kering kerontang. Tanpa alas kaki. Apalagi sepatu.

Anak-anak itu terus berlari dan berlari dengan kaki telanjang. Sementara gunung menatap mereka dengan tatapan yang sedih. Airmata sungai tak lagi mengalir. Kering kerontang. Pepohonan ringkih dan tua yang masih ada dihutan kecil dekat lapangan kampung tak melambaikan tangannya. Dedaunannya rontok dimakan api keberingasan manusia serakah. 

Sesekali sepoi angin yang masih bertiup menyapa anak-anak itu. Sesekali saja, ketika senja mulai menghampiri pemukiman warga Kampung. Anak-anak itu masih berlari dan berlari dengan kaki yang masih telanjang dan telanjang.

Sesekali mereka menatap langit yang biru. Seolah ingin mengadu dan mengadu.

" Apakah kami punya masa depan," gumam mereka dengan suara lesu.

Langit tak menjawab.

Kadang-kadang mereka bertanya kepada rembulan yang mulai hadir menatap mereka berlari.

" Apakah masa depan kami akan seterang cahayamu , wahai rembulan," desis mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun