Mohon tunggu...
Mimi Kartika
Mimi Kartika Mohon Tunggu... -

Sedang menempuh pendidikan S1 Prodi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sedang menempuh semester 7 yang mencari tempat magang bidang jurnalistik...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Rapor Merah Kebebasan Pers di Indonesia

29 September 2015   17:27 Diperbarui: 29 September 2015   17:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

“Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.”

Kebebasan pers di Indonesia tertuang dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara”. Maksudnya ialah pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Dalam penjelasannya disebutkan, kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.

Lalu apakah dalam prakteknya kebebasan pers ini telah sesuai dengan Undang-Undang?

Setiap tanggal 3 Mei, insan pers di dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day). Hal ini merupakan momentum bagi para jurnalis, perusahaan media, pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat Indonesia untuk mengembalikan praktek kebebasan pers dijalurnya yang benar serta menjunjung tinggi independensi media di Indonesia. Dilansir tribunnews.com, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Ahmad Nurhasim melalui siaran pers Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2015 mengatakan, "Sayangnya, berbagai ancaman dan intervensi terhadap tugas-tugas jurnalistik Indonesia masih terus jadi ancaman kebebasan pers.”

Berdasarkan catatan AJI sepanjang 3 Mei 2014 hingga 3 Mei 2015 terdapat 37 kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan aparat kepolisian, satuan pengaman, bahkan massa, serta dari berbagai macam profesi. Ancaman dan intervensi terhadap kegiatan jurnalistik di Indonesia tidak hanya kekerasan melainkan campur tangan penanggung jawab atau pemilik modal media dalam pemberitaannya. Intervensi pemilik modal sangat terasa pada tahun 2014, tahun pelaksanaan Pemilu dimana pemilik media terlibat dalam pertarungan pemilihan presiden seperti MNC Group, tvOne, dan MetroTV. Peristiwa seperti ini telah ada sebelumnya dalam kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Kasus ini menjadi headline di hampir semua media terkecuali di RCTI. (Lihat: laporan penelusuran oleh Widiyanto “Geger di Sisminbakum, Sunyi di RCTI dan Okezone”).

Pertumbuhan kuantitas industri media tak seimbang dengan peningkatan kualitas profesionalisme media. Rupanya tidak semua wartawan memahami kode etik dan memiliki kompetensi sebagai wartawan. Hal ini pula yang memicu kekerasan terhadap wartawan akibat wartawan itu sendiri atas pelanggarannya terhadap kode etik. Wartawan di Indonesia muncul dengan berbagai latar belakang pendidikan. Persyaratan yang diajukan perusahaan pers tidak mewajibkan pelamar berasal dari jurnalistik melainkan untuk semua jurusan. Padahal wartawan adalah sebuah profesi dimana seorang wartawan harus berasal dari orang yang berkompetensi di bidangnya. Misalnya, dokter, seorang dokter harus mengenyam pendidikan di kedokteran.

Ketentuan ini tidak berlaku dalam profesi wartawan, wartawan berasal dari berbagai pendidikan, seperti hukum dan ekonomi. Sehingga mereka yang tidak pernah mendapatkan ilmu mengenai jurnalistik dapat dengan mudah menjadi wartawan. Wartawan yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka membuat berita. Bahkan data Dewan Pers menyebutkan, dari sekitar 30 ribu jurnalis di Indonesia hanya sebagian kecil memenuhi standar kompetensi jurnalis professional. Begitu pula hasil survei yang dilakukan AJI, hanya 20 persen wartawan pernah membaca kode etik dan Undang-Undang Pers.

Tak sampai disitu, telah banyak bermunculan stringer atau sering disebut tuyul, korespondennya koresponden. Para tuyul bertanggung jawab kepada koresponden, karena koresponden yang membayar mereka dan dipilih sendiri oleh koresponden. Koresponden yang menggunakan stringer beralih agar stringer dapat membantu pekerjaan mereka. Namun, apakah mereka memilih stringer dengan kompetensi jurnalis? Kebebasan pers dituntut dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sekaligus mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28

Menurut laporan Reporters Without Borders (Wartawan Tanpa Tapal Batas), pelanggaran terhadap kebebasan pers meningkat 8 persen sejak 2013 terhadap 180 negara yang di survei. Bebasnya kebebasan pers di Indonesia membuat kebebasan pers Indonesia turun menduduki peringkat 138 dalam Indeks Kebebas Pers Dunia tahun 2015 yang dirilis 2 Februari. Sebelumnya, tahun 2014 Indonesia berada di peringkat 132 Di Indonesia khususnya, tidak ada sanksi tegas atau sanksi hukum terkait pelanggaran kode etik. Kode etik yang mengatur kebebasan pers agar tidak ‘kebablasan’ justru dikesampingkan oleh pelaku jurnalis. Undang-Undang tentang Pers tak lagi memiliki kekuatan untuk mengatur.

Jadi, apakah harus mengamandemen Undang-Undang?  

MIMI KARTIKA / 4 E / JURNALISTIK / Hukum dan Etika Pers / 25 Mei 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun