Kurus. Berwajah tirus. Â Rambut ikal sebahu. Â Selalu datang dari lembah. Â Lelaki itu mendaki bukit setiap pagi. Â Di bahunya yang keras tersemat pikulan kayu dengan dua ember besar di masing masing ujungnya. Â Orang pasti berpikir dia sedang mengambil air sendang di pinggang bukit.
Diawali dari pukul 5 pagi. Â Lelaki itu terus saja naik turun bukit dengan pikulan kayu di pundaknya. Â Sepagian itu dia bisa naik turun sebanyak 5 kali. Â Orang orang yang berpapasan dengannya menatap dengan berbagai macam perasaan. Â Ingin tahu, maklum, sedih, terharu. Â Itu bagi yang sudah mengenalnya. Â Bagi yang belum seperti Dewi, maka itu sangatlah mengherankan. Â Gadis itu telah beberapa hari memperhatikan lelaki yang datang dari lembah itu.
Dan pagi itu Dewi sengaja menjajari langkah lelaki itu saat mulai terlihat di ujung jalan depan rumah kakeknya.
"Pagi...hari yang cerah." Dewi membuka percakapan. Â Mengikuti setiap langkah lelaki itu mendaki. Â Lelaki itu membuang tatapannya ke samping. Â Tidak peduli.
"Hei...namaku Dewi. Â Kamu..?" Lelaki itu terus saja melangkah. Â Tegak dan kukuh. Â Dewi mulai memerah mukanya. Â Namun tak mau bertanya lagi. Â Dia melirik ke ember yang dipikul si lelaki. Â Tertutup rapat. Â Mungkin biar airnya tidak tumpah.
Perjalanan menanjak ke atas bukit membuat Dewi kehabisan nafas saat belum mencapai setengahnya. Â Gadis ini hanya bisa melihat lelaki itu meneruskan langkahnya. Â Dengan ritme sama. Â Ekspresi sama.Â
------------
Esok harinya Dewi melakukan hal yang sama. Â Menjajari langkah lelaki yang datang dari lembah.Â
"Pagi....hari yang indah." Dewi mencoba menyapa lagi sekaligus memperkenalkan diri kedua kali.
"Namaku Dewi. Â Kamu..." Lelaki itu terus saja melangkah. Â Bawaannya kali ini terlihat berat. Â Dewi melirik ember berwarna hijau tua itu. Â Salah satu tutupnya agak bergeser sehingga Dewi bisa melihat dengan sedikit jelas. Â Tanah?
Kali ini sampai tiga perempat bukit Dewi mampu menjajari. Â Selanjutnya menyerah.