Tanah lembab saat aku pertama kali jatuh terjerembab, adalah tanah tempat ayahku menguburkan tembuni dari seorang anak lelaki yang lahir di tengah tatapan sandyakala yang sembab. Tanah yang payudaranya sanggup menyusui jutaan mulut retak kekeringan. Bahkan ketika segenap urat syaraf di dadanya teramat sangat kelelahan.
Tanah ini, telah melahirkan manusia-manusia perkasa yang hidup untuk merdeka. Dari cengkeraman para peziarah yang sesungguhnya hanya punya niatan menjarah. Harga diri, kemiri, tangkai kapulaga, hingga mencongkel biji mata. Â
Tanah ini adalah segenggam surga yang tercabik angkara. Tumbuh di antara dua samudera, ditanami benih matahari, dan dewasa sebagai ibu permaisuri. Bagi anak-anaknya yang beragam warna kulit, corak rambut, raut muka, dan punya bermacam cara untuk menemukan di mana Tuhannya.
Tanah ini, dilingkari jemari berapi yang disepuh dari ratusan kepundan lava yang tak pernah tidur. Selalu bergemuruh mengingatkan bahwa langit sewaktu-waktu bisa runtuh. Selalu mengalunkan megatruh untuk melawan lupa bahwa cinta tanah dan air itu adalah bangunan ruh.
Tanah ini, menyampaikan pesan teramat dalam tentang amanah yang mendidih; jangan biarkan siapapun merobek-robek merah putih!
Bogor, 10 Agustus 2020