Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Langit yang Kesepian dan Kesepian yang Melangit

10 Mei 2020   10:27 Diperbarui: 11 Mei 2020   19:39 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Tak ada yang lebih sepi dari dinihari, jika memang kau mencari di mana letak kesepian. Begitupun tak ada yang lebih gaduh dari langit yang hendak runtuh, bila kau menelisik di mana adanya pusat kegaduhan.

Langit dan sepi tidak pernah menjauh pergi. Langit yang kesepian adalah gambaran sederhana bagaimana ornamen kehidupan berada pada puncak pengabaian. Sedangkan kesepian yang melangit adalah lukisan sempurna seorang maestro yang menggambarkan di mana hatinya diletakkan.

Bumi sedang memainkan drama super kolosal. Langit menjadi panggung bagaimana drama tersebut berakhir gagal. Ketika para pelakon kemudian berlarian dari skenario yang mesti dimainkan. Menjadikan pementasan berakhir dalam kericuhan.

Bumi rusak. Langit koyak. Bumi terkapar. Langit terbakar. Bumi nyaris mati. Langit hendak harakiri.

Lalu dinihari selalu memberikan cara terbaik seperti apa berkontemplasi. Merenungkan langit dan bumi yang tersakiti. Tak henti-henti.

Mengerti?

Bogor, 10 Mei 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun