Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Risalah Perempuan yang Cemas atas Air Matanya

16 April 2020   00:23 Diperbarui: 16 April 2020   00:24 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Sepotong risalah. Tentang perempuan yang kehabisan tengah malam. Karena matanya hanya bisa mengenali pagi. Dibacakan oleh para penyair, yang kehilangan ruh dari kata-katanya. Mati, bahkan sebelum dianggit tulisannya.

Pada setiap jejak hujan, yang berhamburan di setiap tikungan jalan. Lahirlah sebuah demokrasi, bagaimana memilih kata-kata yang pantas, untuk menyatakan cuaca, sebagai pemilik sebenarnya masa.

Tidak ada lagi kata langit, sebab yang teringat adalah rasa sakit, atas udara yang begitu mencekam, pada sebuah musim yang kehilangan garam. Hambar dan sulit ditakar.

Seorang perempuan. Berusaha menyusun air matanya. Dalam sebuah teka-teki. Apa saja yang membuatnya begitu berduka.

Selain kerinduan tentu saja. Karena rindu tak mengenal gelisah. Atau rasa cemas yang dikemas. Dengan kata baik-baik saja.

Sunyi itu, bukan sepi yang bunuh diri. Tapi keramaian yang patah hati. Atas banyaknya percakapan. Yang kehabisan halaman. Pada buku-buku di segala jenis perpusatakaan.

Risalah seorang perempuan, yang cemas atas airmatanya. Menjadikan seorang penyair, yang hanya bisa hidup di dunia sihir, memahat butirannya, sebagai mantra-mantra.

Bogor, 16 April 2020
 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun