Kita tenggelam di kedalaman pusara. Dengan memakamkan banyak perkara. Mungkin sepotong hati yang kehilangan cinta, kosakata peduli yang kehabisan pustaka, atau penganiayaan terhadap bumi yang dijadikan menu pembuka, lantas juga menyia-nyiakan matahari dengan menabur emisi berjuta-juta.
Terlalu lama kita menjadi perusuh yang membuat gaduh. Tanah yang hanya sejengkal kita tanam dengan berbagai hal tak masuk akal. Lautan yang cuma satu tempayan kita aduk secara brutal. Dan pintu langit, kita biarkan terbuka menganga karena sengaja kita ganjal.
Kita ini sebenarnya punya kehendak apa? Apakah terus saja ingin menyenangkan hati dengan mengatakan bahwa bumi ini baik-baik saja bagi petani, laut ini masih menyimpan segala macam kebutuhan nelayan, dan langit tak terusik dengan karbon monoksida?
Sementara sinapsis otak kita diciptakan sempurna untuk berpikir kenapa makin lama hujan makin menghitam, kenapa dari tanah yang digali hanya bisa ditumbuhkan kolam tanpa ikan, kenapa kerajaan hutan dikoloni habis-habisan tanpa memberinya sedikitpun kesempatan.
Mungkin semua terjadi karena sel-sel otak yang sempurna itu meluruh jadi lembaran-lembaran angka. Mengkotak-kotak diri dalam kode biner yang diprasangkai sebagai kitab-kitab filosofi masa kini. Dan juga barangkali masa depan itu dicurigai sebagai sesuatu yang fiksi.
Entahlah. Semenjak zaman renaissance, hingga kini ketika perubahan iklim jadi semacam kudapan, kita mempunyai sejarah sebagai manusia yang gemar mengukir batu nisan.
Apakah itu dengan menyulut peperangan, membiasakan kelaparan, dan menciptakan program-program khayalan yang sulit dikendalikan.
Setelah ini, mungkin ada saatnya kita menjadikan upacara pemakaman, kembali menjadi ritual yang bukan kesia-siaan.
Bogor, 27 Maret 2020