Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Paradoksal Gua dan Dunia Maya

16 Maret 2020   07:28 Diperbarui: 16 Maret 2020   20:57 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua bukan kebetulan yang jenaka. Terbitnya pagi didahului oleh kekeh tawa ayam jantan yang memecah kesunyian. Berulang-ulang. Mengabarkan kepada siapa saja. Tentang cara terjaga, yang tidak merusak persendian dan mata.

Seperti sebuah sinetron tak berujung pangkal, yang tiba-tiba saja menggeser kolom-kolom berita olahraga, kabar-kabar yang dinyanyikan burung lantas menjadi tajuk utama. Bumi dinyatakan sudah terlalu tua, untuk menyangga sedemikian banyak kaki, dan juga hati yang mudah sekali patah hati.

Pada setiap kekacauan dan rencana genosida, mesiu dan virus dilepaskan ke udara. Menyebar ke delapan arah mata angin. Mematikan segenap adrenalin. Dengan cara menikam peradaban. Lalu lupa bagaimana cara memakamkan.

Dunia yang sudah sesempit kuburan, ditimbuni oleh teknologi dan perabotan. Manusia-manusia sesak nafas bukan oleh sebab udara menipis, namun karena setiap inchi jantungnya sengaja diris-iris. Setiap hari. Menggunakan belati yang ditajamkan koran-koran dan televisi.

Apabila ada jajak pendapat pada detik ini, pithecanthropus erectus ternyata jauh lebih bahagia karena hidup di gua, dibanding manusia masa kini yang hidup di kota namun setiap harinya bermatian dibunuhi oleh dunia maya.

Bogor, 16 Maret 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun