Dari langit, terlihat kerumunan orang, berduyun-duyun menyeberangi padang pasir, savana, dan sungai berkelok dengan jeram yang siap membunuh dengan cara paling jahanam. Termasuk juga mesti menerobos belukar hutan dan rahasia lautan yang menyimpan sekian banyak ketakutan. Akan masa depan. Setelah orang-orang itu terusir dari rumah-rumah mereka. Hanya karena memilih untuk selalu bersujud di hadapan Tuhan yang diyakininya.
Rohingya terlahir dari rahim bumi yang terkoyak di Asia Tenggara. Karena pilihannya, mereka terlunta-lunta tanpa negara. Karena keyakinannya, mereka mencari suaka atas nama cinta. Mereka terlunta-lunta atas nama cinta. Mereka tercabik-cabik luka atas nama cinta. Dan mereka tidak akan lari dari cintaNya.
Uighur adalah setitik rasi di pusaran besar galaksi. Lingkaran kecil di sebuah kekaisaran besar yang tak pernah goyah hanya karena tanahnya patah oleh mimpi. Yang terburuk di antara mimpi-mimpi yang pernah datang. Bagaimana mereka menyebut kata pulang. Untuk rumah yang terpaksa mereka tinggalkan.
Kashmir adalah kepingan surga yang tergelincir di lereng Himalaya. Tempat orang-orang menggembala domba sambil berdoa. Tempat angin dingin datang untuk meniupkan doa-doa. Tempat anak-anak hujan membeku agar bisa khusuk melantunkan doa-doa. Tempat Tuhan menitipkan sebuah alamat. Supaya perjalanan mendaki langit tak pernah tersesat. Â
Dari langit, orang-orang itu nampak terus berjalan terhuyung-huyung. Melintasi batas antara wajah kemanusiaan yang murung, dan sisi lain peradaban yang mendung. Di sela-sela raut muka beringas para perundung.
Jakarta, 18 Desember 2019