Berhentilah sebentar. Aku sedang kelelahan mengejar.
Sumbu nafasku tinggal satu-satu. Memburumu yang begitu mahir berlari tanpa sepatu. Menuju tempat yang enggan kudatangi. Di perbatasan antara realita dan mimpi.
Kau berdiri di sana. Tanpa berkata-kata. Hanya melambaikan ajakan; kesinilah sebelum kita dibunuhi oleh kenyataan.
Aku tak berani bergerak. Aku telah menjadi kerak. Dari masa silam yang lama tak berkabar. Lalu datang dengan menyamar. Menjadi berita pagi yang menyenangkan. Sementara aku sedang tak mau disuguhi banyak harapan.
Lantas kau melintasi tapal batas. Menghilang menjadi linimasa yang terus menerus cemas. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kecuali memanjatkan doa yang aku bisa. Itupun belum tentu semua lalu menjadi baik-baik saja.
Sesungguhnya kita, tumbuh di dunia geguritan. Sebenarnya kita, masing-masing menjadi gaya bahasa yang kelimpungan. Berniat untuk bermetafora, tapi ternyata masuk di semesta hiperbola. Ingin berandai dalam eufimisme, namun justru jatuh di lubang sinisme.
Jadi kita sudahi saja semua drama yang kita tidak ikut menulis skenarionya. Mungkin ada baiknya jika kita mencari dan coba menemukan cinta. Dengan cara yang lebih sederhana.
Entah apa.
Mungkin dengan meninggalkan rasa dan mengikuti logika. Atau sebaliknya.
Menanggalkan logika lalu menguliti rasa.
Bagaimana?
Jakarta, 8 Nopember 2019