Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Koreografi Sepi

8 November 2019   04:31 Diperbarui: 8 November 2019   04:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara malam sedang tertatih menaiki tangga menuju dinihari yang siap menjamunya dengan puncak rasa sunyi, semakin dalam pula aku tenggelam pada lamunan yang kehilangan berahi.

Aku kesulitan memejamkan mata, membuka jendela, dan menyaksikan kota yang sedang tertidur dengan gagap, lelah bersandar pada bahu dunia di sekitarnya yang menggelap.

Aku melihat kerlip cahaya di mana-mana. Di jalanan besar yang menganga, menara-menara raksasa, juga di langit yang kehilangan purnama namun memajang puluhan rasi bintang di ceruk wajahnya.

Malam sedang disepuh tinta hitam namun penuh dengan noktah cahaya. Aku rasa.

Mungkin aku harus menyeduh secawan kopi untuk melawan kantuk yang mulai menerjang iris mata. Tapi aku tak bisa. Aku tak punya sisa air hujan, juga kehabisan pemantik api dari kemarau yang berkepanjangan. Aku sepertinya ditinggalkan cuaca. Hening dan hampa.

Atau barangkali aku mengada-ada. Hujan tak pernah benar-benar pergi, dan kemarau selalu saja menyisakan setitik api.

Barangkali aku hanya sedang menari. Membenamkan diri pada koreografi sepi.

Jakarta, 8 Nopember 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun