Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penjelajah Masa Lalu (Episode Akhir, Candi Laut Selatan)

19 Oktober 2019   18:43 Diperbarui: 20 Oktober 2019   19:00 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya

Bulan Darah? Menurut beberapa kepercayaan, Bulan Darah adalah saat paling tepat untuk melakukan sebuah ritual yang melibatkan persembahan darah. Fenomena langka ini merupakan puncak dari aura mistis yang ada di dunia.

Di dunia penyihir, Bulan Darah dijadikan sebagai waktu paling berharga diadakannya upacara suci untuk menguatkan mantra-mantra mereka. Tidak heran jika Bulan Darah merupakan almanak yang ditunggu-tunggu oleh para penganut magis dan pengikut dunia empat dimensi.

Kelima sekawan itu tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Mereka berada dalam situasi yang sangat menakutkan. Di ruangan sebelah, suara gamelan semakin meninggi dan berirama ritmis. Angin ribut belum berhenti. Setelah atap bangunan terangkat dan hilang, kini dinding ruangan juga perlahan-lahan runtuh.

Kelimanya saling berpegangan tangan. Bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk.

Bruukkkkk! Dinding itu akhirnya runtuh total. Dan kelima sekawan itu disuguhi sebuah pemandangan yang sama sekali tak pernah mereka bayangkan.

Di ruangan sebelah yang juga tidak berdinding dan beratap lagi, berkumpul begitu banyak orang. Semuanya perempuan. Semuanya berbaju tradisonal berwarna hijau. Kecuali 2 orang laki-laki yang terikat tali dan tergeletak tak sadarkan diri di atas panggung.

"Aaah, itu dua orang kawan kita!" sebuah suara berat laki-laki mengejutkan kelima sekawan. Serentak semuanya menoleh ke asal suara.  Mang Ujang, Kang Maman, dan Pak Acep ternyata berdiri tidak jauh dari mereka. Memandang dengan cemas ke kedua teman mereka yang tergeletak tak berdaya di atas panggung.

Namun tidak ada kesempatan lagi untuk berbincang. Karena begitu angin ribut berhenti, terdengar suara ringkik kuda dari kejauhan dan juga derap roda kereta. Semua perempuan yang ada di depan panggung bersimpuh dan memberikan sembah. Sementara Raja dan yang lainnya hanya diam terpaku.

Tak lama kemudian muncullah sebuah kereta kencana dari arah bawah candi. Sebenarnya tidak ada jalan sama sekali, tapi kereta kencana itu meluncur mulus tanpa halangan hingga tiba di depan panggung dan berhenti. Suara gamelan terhenti. Bahkan angin seolah tak mau bergerak sama sekali. Hening yang begitu mamring.

Suasana yang begitu platonis itu semakin bertambah magis ketika pintu kereta terbuka. Cahaya kemerahan dari Bulan Darah menjatuhi area di sekitar panggung. Seolah memberikan ucapan selamat datang kepada Ratu yang menguasai dimensi laut selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun