Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Penjelajah Masa Lalu (Episode 7, Candi Laut Selatan)

9 Oktober 2019   20:55 Diperbarui: 11 Oktober 2019   15:45 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


sebelumnya

Pak Acep mendengarkan dengan seksama temuan-temuan yang didapatkan Mang Ujang dan Kang Maman pada saat mengelilingi situ. Tempat ini sungguh misterius sekali. Banyak hal aneh dan muskil yang ditemukan di sini. Pohon yang akar udaranya ternyata menjadi sumber air, terowongan batu, harimau jadi-jadian, dan yang paling mengerikan adalah ditemukannya lokasi tempat menggantung orang dengan tumpukan tulang dan gigi di bawahnya!

Setelah mendengarkan semua cerita secara lengkap lalu meramunya dalam pikiran yang kebingungan, Pak Acep mengajak Mang Ujang dan Kang Maman untuk kembali ke reruntuhan candi. Mungkin Raja dan kawan-kawan menemukan sesuatu. Tidak ada gunanya terus di sini tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.

Ketiga penduduk desa itu melangkah gontai kembali ke reruntuhan candi. Terlalu banyak hal yang membuat mereka shock. Dua teman mereka hilang secara misterius. 1 perempuan anggota tim ekspedisi juga raib. Tidak ada sedikitpun jejak yang ditemui. Malah semakin banyak menjumpai misteri. Duh Gusti!

-----

Ketiga lelaki itu kebingungan. Kemana lenyapnya Dara?

Mereka tidak sadar, di balik keremangan di sudut ruangan, sepasang mata merah mengawasi segala tingkah polah mereka sedari tadi. Ruangan ini memang cukup luas dan pencahayaannya sangat sedikit sehingga nyaris di setiap sudutnya nampak gelap.

Mereka juga tidak sadar bahwa sepasang mata merah itu menjilat-jilatkan lidahnya yang panjang ke bibirnya yang tebal sembari memegangi tubuh Dara agar tidak terjatuh. Rambutnya yang riap-riapan menutupi nyaris seluruh mukanya yang terus-terusan menyeringai.

"Apa yang mesti kita lakukan? Dara sudah kita temukan tapi mendadak raib lagi," keluh Raka.

"Periksa semua sudut ruangan! Aku khawatir ada campur tangan tak terlihat di sini!" Raja sengaja berteriak dengan suara keras. Lelaki ini melihat gelagat tidak enak di sudut ruangan yang tak nampak.

Mendengar nada keras Raja, Raka dan Bima tahu ada yang aneh. Langsung saja mereka menyalakan senter dan menyisir setiap sudut ruangan satu persatu.

Melihat ketiga lelaki itu mulai mendekat ke arahnya bersembunyi, sepasang mata merah itu terlihat gugup. Ada sesuatu yang membuatnya takut dari lelaki yang tadi berteriak lantang. Entah apa tapi yang jelas itu bisa membuatnya tak berdaya. Bahkan mungkin malah bisa membuatnya celaka.

Sepasang mata merah dengan sosok pendek kekar itu perlahan-lahan melepaskan tubuh Dara ke lantai, lalu berkonsentrasi penuh sebentar sebelum akhirnya berubah wujud menjadi patung.

"Ini dia! Dara!" buru-buru Bima berjongkok memeriksa tubuh Dara yang lunglai di lantai.

Hmm, Raja berdehem lirih sambil memperhatikan dengan seksama patung jelek dan aneh yang teronggok di sudut ruangan tempat Dara ditemukan.

Patung yang benar-benar bermuka jelek dengan seringai yang cukup menyeramkan! Raja sudah hendak berbalik ketika ada satu hal yang menarik perhatiannya.

Mata patung itu terasa aneh! Seolah hidup dan memperhatikan situasi sekitar dengan teliti. Dan Raja tadi sempat melihat sekilas mata itu melirik ke tubuh Dara yang dibaringkan kembali oleh Raka dan Bima di meja panjang.

Lagipula kenapa cuma ada satu patung di ruangan yang begitu luas? Seharusnya jika ini memang ruang pemujaan, setidaknya ada patung-patung penjaga di setiap sudut ruangan, bukan?

Raja merasakan hawa dingin menerkam tengkuknya setelah lebih dari 5 menit terus menerus memperhatikan patung itu. Nah! Ini dia! Patung ini bukan sekedar patung hiasan!

Tapi Raja menahan diri. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya paham sekali bahwa berdasarkan firasat yang berasal dari ketajaman indera ke enamnya, patung ini memiliki ruh.

Biar saja dulu. Paling penting sekarang menyelamatkan Dara terlebih dahulu.

Raja beranjak menghampiri teman-temannya.

"Kita cari jalan keluar dari ruangan ini. Tapi jangan sedikitpun lengah terhadap Dara. Harus ada satu orang yang terus menerus mengawasinya. Oke kawan?" Kali ini Raja tidak mau kecolongan lagi.

Ketiganya kemudian sepakat Rajalah yang harus mengawasi Dara sementara Raka dan Bima mencari jalan keluar.

------

Di sebuah tempat sangat rahasia, di salah satu ruangan candi yang belum dieksplorasi oleh tim ekspedisi, duduk berjajar sosok-sosok yang punya perwujudan seperti manusia. Namun dengan pakaian zaman kerajaan dahulu kala. Di hadapan mereka, nampak sebuah singgasana indah dan megah tapi kosong.

Sosok-sosok itu semuanya berdiam diri. Duduk bersimpuh tanpa berkata-kata. Suasana sangat hening. Sepertinya ada sesuatu atau seseorang yang ditunggu. Sesuatu atau seseorang yang menakutkan karena tak satupun dari mereka berani berbincang-bincang.

Sosok orang-orang itu berjumlah 7 orang.  Semuanya perempuan. Pakaian yang dikenakan bagus-bagus dengan corak berwarna cerah yang seragam. Hijau terang. Kecuali satu orang yang selalu menunduk dan berada di bagian tengah serta diapit oleh dua orang lainnya, berpakaian mencolok dengan corak merah.

Salah satunya yang berada pada jajaran paling depan adalah yang paling cantik di antara mereka, kelihatannya adalah pemimpin mereka. Mengenakan pakaian yang sedikit berbeda. Masih berwarna hijau namun ada beberapa asesoris emas berkilauan di lengan, leher dan telinganya berikut sebuah mahkota berukuran kecil yang sangat indah di kepalanya. Sedangkan yang lain hanya mengenakan asesoris emas di telinga dan lengan saja.

Si pemimpin memberikan tanda dengan tangannya kemudian bersujud sembah sampai keningnya menyentuh lantai.

Kelima perempuan di belakangnya mengikuti dengan gerakan serupa. Perempuan berpakaian merah dibimbing oleh perempuan di kanan kirinya untuk ikut bersujud. Rupanya sang pemilik singgasana akan tiba.

Didahului oleh siutan angin keras yang berhawa luar biasa dingin serta suara ringkik kuda di kejauhan, lalu diikuti pula dengan suara burung Dekuk yang bersuara satu-satu, dari pintu ruangan muncullah dua sosok perempuan yang juga mengenakan pakaian tradisional tempo dulu berwarna hijau gelap. Pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat mewah dengan perhiasan gemerlapan.

Dua perempuan itu melangkah dengan mantap ke arah singgasana lalu duduk bersimpuh di sisi kanan dan kiri. Sementara semua perempuan di hadapan singgasana sama sekali tidak bergerak dari posisi bersujud.

Suara ringkik kuda mendekat dengan derapnya yang begitu menggelegar. Lalu sepi. Tidak terdengar suara apa-apa lagi.

"Bangun....sudahi sembah kalian," terdengar suara merdu yang seolah punya kekuatan tak kasat mata mengangkat semua kepala dari sujudnya.

Semua perempuan itu memandang dengan takjub dan jerih kepada seorang perempuan luar biasa cantik yang tiba-tiba saja sudah duduk di singgasana sambil memegang tongkat berkilauan berbentuk ular. Sang Ratu.

"Jadi ini perempuan terpilih itu?" Sang Ratu memandang penuh selidik kepada perempuan berpakaian merah yang sedari tadi hanya menunduk seolah kehilangan kekuatan mengangkat kepalanya.

"Benar Sang Ratu. Sesuai dengan tanda dan penandanya, dialah perempuan terpilih itu," si Pemimpin mengangguk dalam secara takzim.

Sang Ratu mengangguk. Digerakkannya jari telunjuk ke arah perempuan berpakaian merah.

Sebuah kekuatan tak nampak memaksa perempuan itu menengadahkan kepalanya. Memperlihatkan wajah yang sedari tadi hanya tertunduk.

Dewi!

------

Jakarta, 9 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun