Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Meninggalkan Dunia Paralel

20 September 2019   12:00 Diperbarui: 20 September 2019   12:00 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia paralel memenuhi pikiranmu. Kau berpikir keras bagaimana menyambut pagi dengan keriangan orang yang sedang sangat berbahagia. Namun sekaligus juga berhati-hati terhadap teka-teki rumit yang mesti kau pecahkan ketika cahaya pertama matahari mulai menyentuh ujung rambutmu.

Rasanya hangat dan menyenangkan. Tapi kau tahu itu juga sebuah peringatan. Segeralah mandi dan sarapan. Kenyataan sedang menunggumu dan khayalan sebaiknya kau simpan. Buat nanti malam. Kau butuh itu untuk mengantarkan tidurmu yang seringkali butuh buaian.

Kau bersiap menghadapi siang yang sibuk, separuh hari buruk, maupun kejadian-kejadian teruk. Bagimu menjadi menjemukan jauh lebih baik daripada harus bersekutu dengan kepura-puraan. Hidup seperti menonton bioskop. Banyak iklan yang berjejalan sebelum akhirnya kau mengantuk dan tertidur di saat sang jagoan memperoleh kemenangan.

Kau bangun dengan terpaksa karena penjaga pintu menepuk pipimu beberapa kali. Jam kedua film akan dimulai dan seorang penonton yang sama dengan nomor kursimu komplain berkali-kali. Kau tergesa-gesa keluar dan tak tahu sebenarnya tujuanmu ke bioskop untuk apa. Mencoba menyenangkan hati dengan mendatangi keramaian atau sekedar melarikan diri dari reruntuhan asa yang terus menerus membuatmu tertekan.

Sesungguhnya kau lebih membutuhkan dunia serial sehingga kepalamu tidak lagi ketakutan pada kata gagal. Dunia paralel bisa membunuhmu dalam hitungan hari. Tumpukan skenario akan memenuhi ruang-ruang kepalamu tanpa ada satupun yang berhasil ditamatkan. Kau bercita-cita menjadi sutradara jempolan namun selalu salah memilih pemeran.

Oleh karena itu, begitu senja datang bertamu, kau hanya berpikir sederhana dengan menikmati sentuhan semburat merahnya pada manik mata. Tanpa perlu berpanjang-panjang memikirkan duduk di beranda dengan kekasih tercinta sembari menikmati segelas kopi moka lalu mengatakan; ah senja, betapa indahnya....

Jakarta, 20 September 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun