Sebelum pesawat ini menurunkan ketinggian, aku berharap masih bisa menuliskan awan-awan yang nampak seperti buih ombak. Menyebar di sudut-sudut yang tak terjangkau warna biru, lalu mengelompokkan diri di ruang-ruang rindu. Terhadap derasnya musim hujan, termasuk pada abadinya genangan demi genangan yang memerangkap kuat kenangan.
Langit adalah lautan. Demikian juga sebaliknya. Kau bisa berenang di kedua-duanya. Di langit, kau merenangi lamunan, dan di laut, kau berkubang gelombang.
Di beberapa ribu kaki, aku menemukan langit berwarna khaki. Mungkin karena mendung. Mungkin juga karena habis-habisan dirundung. Oleh ketidakpastian cuaca. Ketika kutub selatan dan utara enggan lagi beradu muka.
Beberapa kali guncangan mengingatkan aku seperti apa turbulensi rindu. Meletakkan kewarasan di ujung paku. Lalu menutup kesadaran yang menyeberangi titian sembilu. Tanpa merasa luka. Meski darah menetes tanpa jeda.
Begitu roda-roda menyentuh bumi. Sekilas aku melihat sepotong awan ikut terjatuh bersama sepi. Menyeret ujung petang bersamanya. Di lorong-lorong senyap selat Melaka.
Medan, 22 Juli 2019