Para penyintas kehilangan batas-batas yang jelas setelah diburu ketergesaan waktu. Meraba-raba di mana sesungguhnya letak dinding tinggi yang menghalangi mereka pergi. Sementara di atas, langit menampilkan raut wajah jatuh hati. Dan di bawah, tanah-tanah basah menampilkan mimik muka lelah setelah semalaman berkelahi dengan kerasnya mimpi.
Fragmen ini. Adalah bagian terkecil dari sebuah pertunjukan mengenai hari-hari yang terus berlari. Meninggalkan jejak-jejak yang disebut kemarin. Sisa-sisa lorong labirin yang telah kehilangan rasa ingin. Menuju suatu masa yang dinamakan esok. Ketika semua perkara dan mata belumlah lagi bersirobok.
Kita, selalu menghendaki berjumpa dengan asa, saat tiba di wilayah lusa yang banyak menjanjikan bahagia. Kita menjaganya tetap ada. Supaya tak melemahkan tubuh usia yang terus saja menua. Dengan sendirinya.
Kita, berharap banyak bisa menemui cara terbaik bagaimana mesti mencintai Tuhan. Sementara kita, seringkali lupa ingatan. Bergelimang dari satu harapan ke lain ratapan.
Kita, meminta dengan sangat kehadiran cinta. Sementara kita, lebih banyak bercinta dengan niatan putus asa atas matinya rasa. Mengembara dari satu koma ke jeda lainnya.
Ini fragmen kita. Bagian terbesar dari sebuah perjalanan masa yang menjadikan kita sebagai hamba sahaya. Mengikutinya, namun enggan patuh pada setiap perintahnya untuk terus saja merawat asa. Hingga kelak takdir datang mengakhirinya.
Jakarta, 29 Juni 2019