Aku berjalan di lorong-lorong panjang yang terbuat dari pecahan langit berwarna abu-abu tua. Sedangkan kau tegak berdiri di padang luas berisi rumput-rumput yang meranggaskan lara. Dunia menjadi sekecil perahu yang melaju di permukaan laut biru. Kita di atasnya berpegangan pada kemudi yang enggan melaju.
Aku berlari di sela-sela tiupan angin yang menyanyikan kidung-kidung kerinduan anak gembala. Sedangkan kau bersembunyi dari setiap syairnya yang mengingatkanmu akan rindu yang terus-menerus menyiarkan luka. Dunia menjadi sebesar gunung-gunung api yang bersiap meledakkan kepundannya. Kita gemetar di bawahnya sembari menerbangkan doa-doa yang kita bisa.
----
Dua bait yang menyeret kita pada kenyataan. Menggigit lantas mengunyah kita secara perlahan. Kita tidak lagi berhadapan dengan kenangan masa silam. Tapi berurusan dengan masa depan yang dipenuhi kecemasan.
Dua bait yang menyuruh kita melenyapkan kata rusuh di kepala. Sekaligus menghilangkan kata runtuh pada kosakata. Di setiap buku-buku yang kita baca. Sampai kita paham sebenar-benarnya, bahwa memperjuangkan cinta itu tidaklah sederhana.
Seperti yang kita kira.
Bogor, 25 Mei 2019