Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pengakuan Cinta

17 Februari 2019   23:11 Diperbarui: 17 Februari 2019   23:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terpaku di hadapanmu menulisi pagi yang berpuisi. Puisi-puisi yang menyeret musim gugur dari matamu yang kehilangan warna musim semi. Aku lihat senyummu lebih terang dari amarah matahari. Aku menyukainya, karena itu berarti hatimu sedang menyalakan bara. Titik-titik kecil api yang bisa menghangatkan suka cita.

Kita tak segera beranjak pergi. Meski peluit kereta memanggil-manggil sekencang sirine polisi. Aku masih betah di hadapanmu dan kau pun enggan berlalu. Kita berdua sedang senang terdiam dipahat masa lalu.
----
Setelah sekian lama
Ternyata kita masih berada di tempat yang sama. Sukarela menjadi arca. Agar bisa mengabadikan senja yang berbeda. Pada dua pasang mata kita. Menjadikannya pagi yang serupa.

Adakah yang lebih gegar daripada kejadian sepasang kekasih saling menghilangkan gentar atas nama ketakutan yang membuat semuanya menjadi hambar?
----
Sekarang kita telah menghilang
Disapu debu dari waktu yang mengepul di belakang. Kita menyatu dalam sebuah lukisan yang dipajang di sebuah museum khusus memajang benda-benda kenangan.

Tapi kita masih nyata
Sebab nyaris semua memberikan pengakuan bahwa cinta memang lebih tua dibandingkan temuan-temuan purbakala.

----
Tembilahan, 17 Februari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun